
Zimbabwe Desak Afrika Selatan Menggugat Tekanan AS, Meretas Jalan Kedaulatan Afrika
Mendorong Kedaulatan Regional di Tengah Dominasi Global
Dinamika geopolitik di Afrika kembali memanas setelah Zimbabwe secara terbuka mendesak Afrika Selatan untuk tegas melawan tekanan Amerika Serikat. Dorongan ini datang di tengah upaya intensif AS memperkuat pengaruhnya di benua tersebut—terutama melalui sanksi ekonomi yang mengikat dan agenda keamanan regional bernuansa kepentingan global. Faktanya, Afrika bukan sekadar halaman belakang bagi siapa pun, melainkan arena utama pertarungan kepentingan, di mana negara-negara seperti Zimbabwe berupaya memperjuangkan determinasi politiknya sendiri.
Zimbabwe dan Beban Sanksi Ekonomi AS
Zimbabwe selama dua dekade terakhir telah menjadi korban sanksi ekonomi AS, yang diklaim oleh Washington sebagai upaya menekan represi politik dan pelanggaran HAM. Namun, Presiden Zimbabwe, Emmerson Mnangagwa, beberapa kali menyatakan secara blak-blakan bahwa sanksi ini lebih banyak menyengsarakan rakyat ketimbang menciptakan perubahan positif. “Sanksi mengekang potensi pengembangan Afrika, dan hanya memperkuat ketergantungan pada kekuatan eksternal,” ujar Mnangagwa dalam forum Southern African Development Community (SADC) tahun lalu. Data dari African Development Bank mengonfirmasi bahwa ekonomi Zimbabwe tumbuh stagnan dengan inflasi menembus 500% pada 2024, sebagian besar akibat blokade finansial global.
Afrika Selatan dalam Dilema Kebijakan Luar Negeri
Permintaan Zimbabwe agar Afrika Selatan bersuara melawan AS bukan tanpa alasan strategis. Sebagai kekuatan ekonomi terbesar di benua itu, Afrika Selatan memegang posisi kunci dalam diplomasi regional. Namun, Pretoria kerap terjebak dalam dilema: merangkul mitra Barat demi stabilitas investasi, atau menguatkan solidaritas Afrika untuk melindungi kedaulatan benua. Jacob Zuma, mantan Presiden Afrika Selatan, dalam sebuah wawancara dengan Al Jazeera tahun lalu menegaskan, “Saatnya Afrika berhenti tunduk pada instruksi dari utara. Kita punya sejarah dan agenda kita sendiri.”
Tekanan Amerika Serikat dan Reaksi Afrika-Aktual
Kebijakan luar negeri AS di Afrika semakin menonjol dalam beberapa tahun terakhir, terutama dalam isu perdagangan mineral kritis dan persaingan geopolitik dengan Tiongkok serta Rusia. Pada 2025, agenda Global Fragility Act yang diusung Washington menyoroti Zimbabwe dan beberapa negara Afrika lain sebagai wilayah prioritas intervensi. Tekanan ini kian terasa setelah AS menahan paket bantuan senilai USD 140 juta untuk Zimbabwe, dengan syarat reformasi politik yang lebih progresif dan penegakan HAM sesuai standar Barat, sebuah tuntutan yang oleh banyak negara Afrika dianggap sebagai intervensi terselubung.
Kasus Sukses Perlawanan: Ethiopia dan Negosiasi Damai
Dampak tekanan Barat terhadap kedaulatan Afrika lintas negara makin nyata. Ambil contoh Ethiopia, yang pada awal 2022 berhasil menegosiasikan penghentian sanksi militer dari Washington setelah memediasi perundingan damai di Tigray, dengan mengedepankan narasi “solution by Africans, for Africans”. Keberhasilan Ethiopia dipuji African Union sebagai model perlawanan diplomatik yang efektif dan menginspirasi negara-negara tetangga untuk menegaskan posisi tawar mereka di kancah global.
Konsekuensi Realistis jika Solidaritas Afrika Menguat
Jika Afrika Selatan akhirnya tegas menolak tekanan AS atas desakan Zimbabwe, konstelasi hubungan Afrika-Barat akan memasuki babak baru. Pengamat kebijakan luar negeri, Sipho Pityana, menyatakan bahwa konsolidasi suara Afrika dapat menekan praktik “divide and rule” yang selama puluhan tahun melemahkan integrasi kawasan. Namun, risiko isolasi finansial hingga retaliasi dalam skala investasi tetap mengintai, mengingat dominasi perbankan global oleh institusi Barat.
Tantangan Membangun Narasi Mandiri dan Keberlanjutan Ekonomi
Solidaritas memang penting, tetapi tanpa landasan ekonomi yang kuat, keberanian itu dapat berubah jadi bumerang. Studi Bank Dunia tentang ketergantungan ekspor Afrika pada pasar Eropa dan AS menunjukkan bahwa kemandirian ekonomi harus jadi prioritas jika Afrika ingin bebas dari tekanan eksternal. Diversifikasi melalui kerja sama Selatan-Selatan, optimalisasi sumber daya mineral, dan investasi pada teknologi menjadi kunci membangun pondasi baru bagi perkembangan benua.
Catatan Akhir: Menuju Arsitektur Kedaulatan Baru Afrika
Desakan Zimbabwe pada Afrika Selatan memberi peringatan bahwa sudah saatnya Afrika menata ulang relasi dan agenda globalnya. Ini bukan sekadar upaya menolak tekanan AS, melainkan pengingat agar benua ini menghindari jebakan ketergantungan baru yang, ironisnya, bisa membelenggu kedaulatan kemerdekaannya. Pertanyaannya, beranikah para pemimpin Afrika mengambil risiko itu demi masa depan yang benar-benar mandiri? Hanya waktu dan aksi nyata yang bisa menjawabnya.
_Sponsored by Games Online—Temukan lebih banyak pengalaman gaming bersama Dahlia77