Upayakan Senantiasa Sehat Dikala Bumi Penuh Informasi

Upayakan Senantiasa Sehat Dikala Bumi Penuh Informasi

Upayakan Senantiasa Sehat Dikala Bumi Penuh Informasi – Risiko dan ketidak pastian hidup semakin tinggi seiring kabar

kabar tentang kebijakan kontroversial pemerintah , kasus korupsi pejabat tinggi negara, kekerasan seksual alexa99 oleh seorang dokter hingga polisi, hingga gejolak bursa saham akibat tarif Trump yang belakangan mewarnai jendela informasi bukan hanya menciptakan keresahan sosial, tetapi juga menyentuh ranah psikologis individu masyarakat secara mendalam. Masyarakat harus tetap bertahan menjadi waras dengan menjaga stabilitas emosi dan kesehatan mentalnya.

Psikolog klinis dari Universitas Gadjah Mada, Pamela Andari Priyudha mengatakan paparan terhadap berita-berita buruk secara terus-menerus muncul di gawai seseorang dapat memicu seseorang mengalami ketegangan psikologis, seperti kecemasan, stres, bahkan depresi. Seorang yang tak mampu mengatasinya bisa menjadi pasrah dan merasa tak berdaya.

Ketika seseorang sudah merasa tidak berdaya, mereka bisa mengalami learned helplessness. Ini adalah kondisi seseorang merasa tidak mampu mengubah situasi meskipun sebenarnya ada peluang.

Ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan apatisme, frustrasi, dan depresi secara kolektif,” kata Pamela, Kamis (10/4/2025). Dengan perkembangan internet yang pesat dalam menciptakan ”tsunami informasi” sekaligus membentuk persepsi publik, penting bagi masyarakat untuk mencari, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara kritis dan etis setiap kali mengonsumsi informasi. Sebab, tidak semua informasi yang beredar tersebut adalah benar.

Hadir hanya sebagai pendengar yang baik bisa menjadi langkah kecil yang sangat penting dan bermakna.

Ketidakmampuan seseorang untuk mengonsumsi informasi secara kritis dan etis bisa membuatnya terjebak dalam kesimpulan prematur. Sebab, mereka kebanyakan hanya membaca judul atau komentar tanpa menelusuri informasi secara utuh.

Sebab saat tubuh terus merasa waspada karena paparan berita buruk, kecemasan akan meningkat. Ini adalah bentuk alarm tubuh yang bisa menjadi maladaptif jika tidak dikendalikan,” ujarnya.

Ini sejalan dengan survei terhadap 266 orang di Amerika Serikat yang dilakukan oleh Grow Therapy pada Maret 2025. Hampir semua responden (99,6 persen) mengakui bahwa konsumsi berita buruk terus-menerus telah mengganggu kesehatan mental mereka. Meskipun informasi itu penting, tetapi mereka justru menjadi khawatir tentang kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi di kemudian hari.

Secara rinci, penelitian ini menemukan setelah membaca berita buruk terus-menerus mereka menjadi stres membayangkan masa depan negaranya (77 persen), 73 persen stres atas kondisi ekonominya, 62 persen stres melihat perkembangan politik, 54 persen stres karena kekerasan dan kejahatan makin banyak terjadi, hingga 51 persen stres karena Bumi semakin rusak.

Banyak dari kita yang merasa marah saat menonton berita lalu mengaktifkan sistem saraf simpatik kita yang pada akhirnya menyebabkan tubuh kita melepaskan hormon stres,” kata Mindy Hall Czech, konselor di Grow Therapy.

Oleh karena itu, lanjut Pamela, sejumlah kelompok masyarakat yang perlu mendapatkan literasi digital itu, antara lain orangtua dan lansia, serta anak muda yang banyak menggunakan media sosial, tetapi literasi digitalnya rendah atau keterbatasan akses untuk informasi yang kredibel.

Selain itu, setiap orang juga harus mampu mengelola emosinya agar berita-berita buruk tersebut tidak terlalu menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan mental mereka.

Institusi pendidikan dan komunitas sosial bisa berperan aktif memberikan edukasi mengenai literasi digital dan keterampilan pengelolaan emosi guna membuat psikologis masyarakat lebih resilien menghadapi tekanan informasi yang serba cepat,” ujar Pamela.

Bersikap obyektif

Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan mental dari gempuran kabar buruk yang diberitakan tersebut. Pertama, batasi konsumsi informasi yang bersifat memicu kecemasan untuk sementara, terutama ketika individu berada dalam kondisi psikologis yang kurang stabil.

Kedua, bangun kebiasaan untuk mencari informasi pembanding dari berbagai sumber berita yang kredibel agar membuat sudut pandang lebih obyektif dan seimbang sebelum mengambil keputusan. Hindari bersikap reaktif sebelum informasi tersebut terverifikasi.

Penting untuk mengedepankan logika dan bersikap obyektif. Selalu cari tahu dari berbagai sumber, jangan hanya mengandalkan satu sudut pandang,” ujarnya.

Ketiga, hindari sementara topik-topik yang mengganggu emosional seperti konflik politik atau isu sosial yang memancing reaksi emosional berlebihan. Namun, bukan apatis karena setiap kabar bisa jadi berdampak langsung pada kehidupan pribadi seseorang.

Di sisi lain, seseorang sangat disarankan untuk secara aktif mengonsumsi konten-konten yang bersifat positif, inspiratif, atau membangun. Dengan begitu, suasana hati bisa tetap stabil dan mendorong pola pikir yang lebih optimistis dalam menghadapi dinamika kehidupan.

Salah satu teknik psikologis yang bisa diterapkan untuk tetap optimistis adalah dengan kontrol diri. Kita harus menyadari batasan antara hal-hal yang dapat kita kendalikan dan yang berada di luar kendali kita,” ujarnya.

Setelah mampu mengontrol diri sendiri, seseorang juga perlu saling memberikan dukungan emosional kepada orang-orang terdekat yang sedang mengalami kecemasan. Hadir hanya sebagai pendengar yang baik bisa menjadi langkah kecil yang sangat penting dan bermakna.

Mereka hanya butuh didengarkan dan dipahami tanpa diberikan penilaian atau non-judgemental atas keresahan-keresahan yang muncul akibat banjirnya berita negatif yang diterima,” tutur pengajar di Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi UGM ini.

Di zaman sekarang, informasi mengalir deras tanpa henti. Dari media sosial, televisi, portal berita daring, hingga percakapan di grup WhatsApp keluarga, kita dihujani kabar dari seluruh penjuru dunia—baik yang penting maupun yang memicu kecemasan. Mulai dari konflik geopolitik, bencana alam, krisis iklim, pandemi, sampai politik lokal yang memanas, semua datang nyaris bersamaan dan terus-menerus. Tak jarang, informasi ini membuat kita kewalahan, cemas, bahkan merasa tak berdaya. Lantas, bagaimana kita bisa tetap waras di tengah gempuran berita tanpa henti ini?

Era Banjir Informasi
Kita hidup di era yang dikenal sebagai infodemic, di mana volume informasi yang tersedia jauh melebihi kapasitas kita untuk mencerna, memverifikasi, dan memahami secara sehat. Dalam hitungan detik, kita bisa mengetahui apa yang terjadi di Gaza, Moskow, atau Jakarta hanya dengan menggulir layar. Di satu sisi, ini adalah kemajuan luar biasa dalam teknologi komunikasi. Namun di sisi lain, ada dampak psikologis yang tidak bisa diabaikan.

Penelitian menunjukkan bahwa terlalu banyak mengonsumsi berita negatif—terutama yang bersifat traumatis, seperti kekerasan atau bencana—dapat meningkatkan stres, kecemasan, bahkan risiko depresi. Istilah “doomscrolling” kini menjadi bagian dari kosakata sehari-hari: kebiasaan menggulir berita buruk tanpa henti meskipun kita tahu itu membuat kita merasa lebih buruk.

Mengapa Kita Terjebak?
Ada beberapa alasan psikologis mengapa kita terus mencari informasi walaupun itu membuat kita tidak nyaman. Pertama, otak manusia secara alami tertarik pada ancaman—sebuah mekanisme evolusioner yang dulunya berguna untuk bertahan hidup. Kedua, kita merasa bahwa dengan terus mengikuti berita, kita bisa mengendalikan situasi, meskipun kenyataannya sering kali kita tidak bisa berbuat banyak.

Selain itu, media juga memiliki peran. Judul yang sensasional, foto-foto dramatis, dan narasi yang memancing emosi dirancang untuk menarik perhatian. Dalam persaingan ketat akan klik dan perhatian, algoritma media sosial dan portal berita secara tidak langsung mendorong konsumsi berlebihan atas konten yang justru memperburuk kesehatan mental kita.

Menjaga Kesehatan Mental di Tengah Kebisingan
Lalu, apa yang bisa kita lakukan agar tetap sehat dan waras di tengah dunia yang tampak semakin kacau? Berikut beberapa langkah praktis:

1. Batasi Konsumsi Berita
Tidak semua informasi harus dikonsumsi, apalagi secara terus-menerus. Tetapkan waktu tertentu untuk membaca atau menonton berita, misalnya hanya pagi dan malam. Hindari mengecek berita sebelum tidur, karena itu dapat mengganggu kualitas tidur dan memicu kecemasan.

2. Pilih Sumber Terpercaya
Daripada mendapatkan informasi dari sumber yang belum jelas kebenarannya, fokuslah pada media yang kredibel. Hindari menyebarkan berita yang belum terverifikasi. Ini bukan hanya menjaga mental Anda, tapi juga membantu membendung penyebaran disinformasi.

3. Praktikkan Mindfulness
Kesadaran penuh atau mindfulness membantu kita kembali ke saat ini dan tidak tenggelam dalam kekhawatiran atas hal-hal yang di luar kendali. Latihan seperti meditasi, pernapasan dalam, atau hanya meluangkan waktu untuk diam sejenak bisa sangat membantu.

4. Fokus pada Hal yang Bisa Dikendalikan
Kita mungkin tidak bisa menghentikan perang di suatu tempat, tapi kita bisa memberi donasi, menyebarkan informasi yang benar, atau membantu komunitas lokal. Fokus pada aksi kecil yang berdampak nyata memberi rasa kendali dan makna.

5. Konsumsi Konten yang Menyehatkan
Tidak semua informasi harus berat. Beri ruang untuk konten yang membuat Anda tertawa, terinspirasi, atau merasa hangat. Tonton film lucu, dengarkan musik, baca buku fiksi, atau ikuti akun media sosial yang positif.

6. Jaga Koneksi Sosial
Berbagi perasaan dengan orang lain membantu mengurangi beban mental. Jangan ragu untuk berbicara dengan teman, keluarga, atau tenaga profesional jika merasa kewalahan. Terkadang, cukup didengar saja sudah sangat membantu.

Teknologi: Musuh atau Sekutu?
Teknologi memang bisa membuat kita kewalahan, tetapi jika digunakan dengan bijak, ia juga bisa menjadi alat untuk menjaga kewarasan. Ada berbagai aplikasi yang bisa membantu kita mengelola waktu layar, memblokir notifikasi berlebih, bahkan memandu meditasi. Kita bisa mengatur feed media sosial agar lebih sehat—berhenti mengikuti akun yang memicu stres dan menggantinya dengan yang memberi nilai positif.

Ingat, kita berhak atas ketenangan batin, dan itu termasuk membatasi paparan dari hal-hal yang tidak membantu kesejahteraan kita.

Kewaspadaan yang Seimbang
Menjadi warga dunia yang peduli bukan berarti harus terus-menerus merasa cemas. Kita bisa tetap peduli dan sadar tanpa mengorbankan kesehatan mental. Artinya, kita belajar untuk memilah mana informasi yang perlu diserap, mana yang bisa dilepas. Kita juga belajar bahwa istirahat dari berita bukan berarti kita tidak peduli, tapi justru cara untuk menjaga diri agar tetap bisa peduli dalam jangka panjang.

Penutup
Tetap waras saat dunia penuh berita bukanlah hal yang mudah, tapi sangat mungkin. Dengan kesadaran, disiplin, dan kepedulian terhadap diri sendiri, kita bisa menavigasi arus informasi yang deras tanpa harus tenggelam di dalamnya. Di tengah gemuruh berita, diam sejenak bisa menjadi bentuk perlawanan. Dan menjaga kewarasan, dalam situasi yang serba kacau, adalah tindakan yang revolusioner.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *