Dalam sejarah panjang permusuhan antara Israel dan Iran, tahun 2025 menandai babak baru yang dramatis. Untuk pertama kalinya, pejabat tinggi Israel secara terbuka mengakui bahwa mereka berusaha membunuh Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, selama perang 12 hari yang memanas antara kedua negara. Pengakuan ini bukan hanya memperlihatkan eskalasi ekstrem dalam konflik, tetapi juga membuka diskusi mendalam tentang strategi militer, implikasi geopolitik, dan masa depan stabilitas di Timur Tengah.
Motivasi dan Strategi Israel: Dari Nuklir ke Kepemimpinan
Ancaman Eksistensial dan Perencanaan Operasi
Israel telah lama memandang program nuklir Iran sebagai ancaman eksistensial. Namun, pada Juni 2025, ancaman ini terasa lebih nyata dari sebelumnya. Intelijen Israel menemukan bahwa Iran mempercepat pengayaan uranium dan memperbanyak produksi rudal balistik, yang secara signifikan meningkatkan potensi serangan terhadap Israel.
Dalam konteks inilah, Israel meluncurkan operasi besar-besaran yang dikenal sebagai Operation Rising Lion. Tidak hanya fasilitas nuklir dan rudal Iran yang menjadi target, tetapi juga para pemimpin militer dan ilmuwan nuklir senior Iran. Dalam gelombang serangan awal, lebih dari 30 komandan militer dan 11 ilmuwan nuklir tewas. Namun, target paling ambisius adalah Ayatollah Khamenei sendiri, simbol dan otoritas tertinggi rezim Iran.
Pengakuan Terbuka dan Alasan Operasional
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, secara terbuka menyatakan bahwa negaranya “sudah menandai” Khamenei untuk dieliminasi. Namun, upaya ini gagal karena Khamenei segera menyadari ancaman tersebut dan menghilang ke dalam bunker bawah tanah, memutus komunikasi dengan para komandan militernya. “Jika dia ada dalam bidikan kami, kami akan menyingkirkannya. Kami mencari dengan sangat keras,” ujar Katz dalam wawancara di beberapa stasiun televisi Israel.
Katz menegaskan bahwa tujuan Israel bukanlah perubahan rezim secara langsung, melainkan memberikan tekanan maksimum pada kepemimpinan Iran agar menghentikan program nuklir dan rudal. Strategi ini juga bertujuan menciptakan “ancaman kredibel” terhadap kelangsungan rezim, memaksa Iran untuk menerima gencatan senjata dengan syarat-syarat yang menguntungkan Israel.
Bagaimana Khamenei Lolos: Studi Kasus Evasion
Taktik Perlindungan dan Disinformasi
Khamenei, yang dikenal sangat berhati-hati, segera mengambil langkah-langkah perlindungan ekstrem. Ia masuk ke bunker bawah tanah yang didesain untuk tahan terhadap serangan udara dan rudal, serta memutus komunikasi dengan para komandan yang masih hidup. Langkah ini membuat intelijen Israel kesulitan melacak keberadaannya secara real-time.
Menurut laporan, Khamenei baru muncul kembali ke publik dalam video pada 26 Juni, setelah gencatan senjata diberlakukan. Dalam video singkat tersebut, ia tampak lelah namun tetap menantang, menyatakan bahwa Iran telah “menampar wajah Amerika” dan memperingatkan Israel agar tidak memprovokasi lebih lanjut.
Peran Intelijen dan Kegagalan Operasi
Upaya Israel untuk menemukan dan menargetkan Khamenei melibatkan operasi intelijen tingkat tinggi, termasuk penggunaan satelit, sinyal intelijen, dan jaringan mata-mata. Namun, kemampuan Iran dalam melakukan disinformasi, penggunaan bunker berlapis, serta pemutusan komunikasi internal, membuat operasi pembunuhan ini tidak realistis dalam waktu singkat. Pengalaman ini menggarisbawahi tantangan besar dalam melakukan pembunuhan target tingkat tinggi di negara dengan sistem keamanan berlapis.
Analisis Strategi Pembunuhan Target: Efektivitas dan Risiko
Teori dan Praktik Pembunuhan Target
Pembunuhan target (targeted killing) telah menjadi bagian dari strategi militer modern, terutama dalam konteks melawan kelompok bersenjata non-negara atau pemimpin rezim yang dianggap mengancam keamanan nasional. Studi oleh Military Strategy Magazine dan Council on Foreign Relations menegaskan bahwa efektivitas strategi ini sangat bergantung pada konteks, tujuan politik, dan kesiapan operasional.
Dalam kasus Israel-Iran, pembunuhan Khamenei dipandang sebagai upaya untuk “mengguncang” rezim dan menekan Iran secara psikologis serta operasional. Namun, studi akademis menunjukkan bahwa pembunuhan pemimpin oposisi atau penguasa otoriter seringkali hanya memberikan dampak jangka pendek dan dapat memicu instabilitas atau eskalasi kekerasan lebih lanjut.
Risiko Geopolitik dan Potensi Eskalasi
Jika Israel berhasil membunuh Khamenei, konsekuensinya bisa sangat luas. Khamenei bukan hanya kepala negara, tetapi juga figur spiritual bagi jutaan Muslim Syiah di seluruh dunia. Pembunuhan ini bisa memicu gelombang protes, aksi balas dendam, bahkan perang regional yang lebih luas, melibatkan kelompok-kelompok proksi Iran di Lebanon, Suriah, Irak, dan Yaman.
Selain itu, tindakan ini berpotensi memperburuk hubungan Israel dengan negara-negara Arab moderat dan memperkuat narasi anti-Israel di dunia Islam. Risiko lain adalah munculnya kekosongan kekuasaan di Iran yang bisa dimanfaatkan oleh faksi-faksi radikal, memperburuk instabilitas domestik dan regional.
Dinamika Internasional: Peran Amerika Serikat dan Reaksi Global
Selama konflik, muncul spekulasi bahwa Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan Donald Trump, memberi “lampu hijau” bagi Israel untuk melakukan operasi militer besar di Iran, termasuk kemungkinan pembunuhan Khamenei. Namun, Menteri Pertahanan Israel menegaskan bahwa negaranya tidak memerlukan izin AS untuk tindakan tersebut.
Reaksi global sangat beragam. Negara-negara Barat umumnya menahan diri, sementara Rusia, Tiongkok, dan beberapa negara Arab mengecam keras setiap upaya pembunuhan pemimpin negara berdaulat. Gencatan senjata yang dimediasi AS dan Qatar akhirnya menghentikan eskalasi, namun ketegangan tetap tinggi.
Kesimpulan: Pelajaran dan Langkah ke Depan
Pengungkapan upaya Israel membunuh Ayatollah Khamenei menandai era baru dalam konflik Israel-Iran, di mana perang tidak lagi sekadar soal fasilitas nuklir, tetapi juga menyasar simbol dan pusat kekuasaan lawan. Meski gagal secara operasional, strategi ini berhasil menekan psikologis dan operasional Iran, yang akhirnya menerima gencatan senjata dengan syarat-syarat yang menguntungkan Israel.
Namun, pengalaman ini juga memperlihatkan keterbatasan strategi pembunuhan target dalam konteks negara berdaulat dengan sistem keamanan tinggi. Risiko eskalasi dan instabilitas regional tetap menjadi ancaman nyata. Bagi pembaca dan pengambil kebijakan, pelajaran utama adalah pentingnya memahami dinamika, risiko, dan batasan strategi militer ekstrem, serta perlunya diplomasi dan upaya pencegahan konflik jangka panjang.
Langkah ke depan:
- Memperkuat diplomasi regional dan internasional untuk mencegah eskalasi lebih lanjut.
- Mengedepankan transparansi dan komunikasi antarnegara guna mengurangi mispersepsi yang bisa memicu konflik.
- Meningkatkan pemahaman publik tentang risiko dan konsekuensi strategi militer ekstrem melalui edukasi dan diskusi berbasis bukti.
Dengan memahami kompleksitas dan konsekuensi dari upaya pembunuhan pemimpin negara, masyarakat internasional diharapkan dapat mendorong solusi damai dan berkelanjutan bagi kawasan yang terus bergejolak ini.
Leave a Reply