Pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menyerukan pembatalan persidangan korupsi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menandai babak baru dalam hubungan kedua negara sekaligus membuka perdebatan global tentang batas intervensi pemimpin asing dalam urusan hukum negara demokrasi lain. Dalam unggahan di Truth Social, Trump menyebut kasus hukum Netanyahu sebagai “witch hunt” dan “horror show”, serta menuntut agar Israel segera membatalkan persidangan atau memberikan grasi kepada Netanyahu. Artikel ini mengupas secara mendalam latar belakang, motif, respons, serta dampak jangka panjang dari intervensi ini terhadap politik Israel, hubungan AS-Israel, dan prinsip supremasi hukum.
Latar Belakang: Kasus Korupsi Netanyahu dan Dinamika Politik Israel
Benjamin Netanyahu, perdana menteri terlama dalam sejarah Israel, telah menghadapi dakwaan korupsi sejak 2019, meliputi tiga kasus utama: suap, penipuan, dan pelanggaran kepercayaan publik. Ia dituduh menerima hadiah senilai lebih dari $200.000 dari pengusaha, serta memberikan keuntungan regulasi kepada taipan telekomunikasi sebagai imbalan atas pemberitaan positif di media yang dikuasai taipan tersebut. Netanyahu membantah seluruh tuduhan dan menilai proses hukum ini sebagai upaya politis untuk menjatuhkannya.
Proses persidangan yang dimulai pada 2020 telah berlangsung lebih dari empat tahun, kerap tertunda akibat berbagai taktik hukum dan situasi geopolitik, termasuk perang dengan Iran dan serangan Hamas pada Oktober 2023. Persidangan ini telah memecah opini publik Israel, memicu protes berkepanjangan, dan menjadi isu sentral dalam politik domestik.
Trump dan Netanyahu: Aliansi Strategis di Tengah Konflik
Trump dan Netanyahu dikenal memiliki hubungan pribadi dan politik yang erat. Dalam beberapa tahun terakhir, keduanya berkolaborasi erat dalam kebijakan Timur Tengah, termasuk pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan operasi militer bersama melawan Iran. Dalam pernyataannya, Trump menekankan bahwa ia dan Netanyahu “baru saja melewati neraka bersama” selama perang dengan Iran, dan menyebut Netanyahu sebagai “pahlawan besar” serta “warrior” yang tak tertandingi dalam sejarah Israel.
Trump juga mengklaim bahwa kemenangan Israel atas Iran, khususnya penghancuran fasilitas nuklir Iran, tak lepas dari peran kepemimpinan Netanyahu dan dukungan Amerika Serikat. Ia menulis, “Tidak ada yang bisa bekerja lebih harmonis dengan AS selama perang selain Netanyahu”.
Motif dan Retorika: “Witch Hunt” dan Legitimasi Politik
Trump menilai persidangan Netanyahu sebagai kasus bermotif politik, “witch hunt”, dan “travesty of justice” yang ditujukan untuk mencelakakan pemimpin perang Israel. Ia membandingkan situasi Netanyahu dengan pengalamannya sendiri menghadapi tuduhan hukum di AS, memperkuat narasi bahwa pemimpin populis kerap menjadi korban kriminalisasi politik.
Retorika ini mendapat sambutan di kalangan pendukung Netanyahu dan sebagian anggota koalisi pemerintah Israel, yang sejak awal menuding proses hukum sebagai upaya oposisi untuk menjatuhkan perdana menteri lewat jalur non-parlemen. Namun, banyak pula pihak yang menilai intervensi Trump sebagai pelanggaran prinsip non-intervensi dan ancaman bagi independensi sistem peradilan Israel.
Respons Domestik dan Internasional
Pernyataan Trump memicu reaksi keras dari berbagai pihak. Yair Lapid, pemimpin oposisi utama Israel, mengecam intervensi Trump dan menegaskan bahwa urusan hukum di Israel sepenuhnya berada di bawah kedaulatan nasional. Presiden Israel, Isaac Herzog, juga menegaskan bahwa opsi grasi belum pernah diajukan dan “tidak sedang dipertimbangkan”.
Di sisi lain, pernyataan Trump memperkuat polarisasi di masyarakat Israel. Bagi pendukung Netanyahu, seruan pembatalan persidangan dianggap sebagai pembenaran atas narasi kriminalisasi politik. Namun, bagi kelompok pro-demokrasi dan supremasi hukum, intervensi ini justru memperkuat pentingnya menjaga independensi lembaga peradilan dari tekanan politik domestik maupun asing.
Implikasi Hukum dan Demokrasi
Persidangan Netanyahu menjadi ujian besar bagi sistem hukum dan demokrasi Israel. Kasus ini menyoroti ketegangan antara prinsip “rule of law” dan loyalitas politik dalam sistem parlementer. Banyak pengamat menilai, jika persidangan dibatalkan atau Netanyahu diberikan grasi atas tekanan eksternal, maka preseden berbahaya akan tercipta bagi masa depan demokrasi Israel dan negara demokrasi lain.
Selain itu, intervensi Trump berpotensi memperlemah kredibilitas AS sebagai pendukung demokrasi dan supremasi hukum di dunia. Praktik terbaik dalam tata kelola global menuntut agar negara-negara saling menghormati proses hukum domestik dan tidak melakukan intervensi kecuali dalam kasus pelanggaran HAM berat yang diakui secara internasional.
Analisis: Politik, Hukum, dan Diplomasi di Persimpangan Jalan
Kasus ini menjadi ilustrasi nyata bagaimana isu hukum dan politik saling berkelindan di era populisme global. Di satu sisi, pemimpin populis seperti Trump dan Netanyahu memanfaatkan narasi kriminalisasi politik untuk memperkuat dukungan basis pemilih dan melemahkan legitimasi lembaga hukum. Di sisi lain, lembaga peradilan dan masyarakat sipil dihadapkan pada tantangan menjaga integritas sistem hukum di tengah tekanan politik dan polarisasi publik.
Dari perspektif diplomasi, intervensi Trump juga dapat memperumit hubungan bilateral AS-Israel, terutama jika pemerintahan AS berikutnya mengambil pendekatan berbeda terhadap supremasi hukum dan demokrasi.
Kesimpulan: Menjaga Supremasi Hukum di Era Politik Populis
Seruan Trump untuk membatalkan persidangan korupsi Netanyahu menyoroti tantangan besar yang dihadapi demokrasi modern: menjaga independensi hukum di tengah tekanan politik domestik dan internasional. Bagi Israel, kelanjutan persidangan ini akan menjadi tolok ukur komitmen terhadap prinsip “rule of law” dan integritas institusi negara.
Bagi dunia internasional, kasus ini menjadi pengingat pentingnya menegakkan prinsip non-intervensi dan menghormati proses hukum negara lain, sekaligus mendorong reformasi hukum yang adil dan transparan. Langkah ke depan bagi Israel dan sekutunya adalah memperkuat institusi hukum, menjaga transparansi, dan menolak segala bentuk tekanan politik yang dapat menggerus kepercayaan publik terhadap demokrasi.
Referensi:
Axios, JNS, The Independent, BBC, EconoTimes, Economic Times, Al Jazeera, TIME, Times of Israel, MoneyControl
Leave a Reply