
Trump Ancam Mitra BRICS dengan Tarif Tambahan
Isu kebijakan proteksionis kembali memanas di kancah global setelah mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyatakan kemungkinan mengenakan tarif tambahan bagi negara-negara BRICS kelompok ekonomi yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Pernyataan ini sontak mengundang perhatian tidak hanya dari kalangan ekonomi dan politik, tetapi juga masyarakat luas yang bergantung pada kestabilan perdagangan internasional.
BRICS di Panggung Ekonomi Dunia
BRICS bukanlah sekadar aliansi simbolis; kelima negara ini menyumbang lebih dari 40% populasi dunia serta sekitar seperempat dari Produk Domestik Bruto (PDB) global. Selama beberapa tahun terakhir, BRICS makin gencar menyerukan reformasi sistem keuangan internasional yang masih didominasi oleh negara Barat dan mendorong peran mata uang lokal yang lebih besar dalam transaksi lintas negara. Inisiatif ini menjadi tantangan tersendiri bagi dominasi dolar AS yang selama ini menjadi landasan utama dalam perdagangan dan keuangan global.
Mengapa Trump Merespon dengan Ancaman Tarif?
Pada awal 2025, Trump dalam salah satu pidatonya mengemukakan kekhawatiran atas praktik perdagangan yang dianggap merugikan industri domestik Amerika. Ia mencontohkan membanjirnya baja murah dari Tiongkok dan tekstil dari India ke pasar Amerika. “Kami tidak akan diam saja sementara lapangan kerja Amerika terancam karena praktik dagang tidak adil,” tegasnya menurut laporan Bloomberg dan sejumlah media arus utama internasional.
Kritik Trump bukan tanpa landasan. Sejumlah pelaku manufaktur AS memang telah lama mengeluhkan selisih harga produk impor, yang menurut mereka akibat praktik dumping oleh beberapa negara BRICS. Namun, sejumlah analis ekonomi menilai retorika tersebut juga sarat nuansa politik menjelang pemilu, bukan hanya soal data dan angka kenaikan defisit perdagangan.
Respons BRICS dan Potensi Imbas Global
Tanggapan negara-negara BRICS datang secara tegas. Menteri Perdagangan India, Piyush Goyal, menyebut ancaman ini sebagai “bom waktu” yang bisa merugikan ekonomi global. Di sisi lain, Kementerian Perdagangan Tiongkok menegaskan kesiapan menghadapi langkah balasan dengan membentengi rantai pasok dan perdagangan strategis mereka.
Studi Bank Dunia pada 2024 mencatat, praktik pengenaan tarif pada tahun-tahun sebelumnya justru meningkatkan harga barang di pasar AS tanpa memberikan perlindungan nyata bagi industri dalam negeri. Ketika rantai pasok global terganggu, baik negara pengimpor maupun pengekspor justru mengalami kerugian yang tak sedikit. Dampak ini terlihat jelas ketika perang dagang antara AS dan Tiongkok memuncak pada 2018-2019, di mana para produsen kedelai serta otomotif Amerika kehilangan miliaran dolar akibat balasan tarif dari Tiongkok.
Studi Kasus: Perang Dagang AS-Tiongkok
Perang dagang antara AS dan Tiongkok pada 2018 menjadi pelajaran berharga. Balasan tarif menyebabkan penurunan ekspor AS secara drastis. Data Congressional Research Service menunjukkan kerugian signifikan bagi petani dan produsen AS, maupun inflasi yang menekan konsumen domestik. Sektor-sektor yang sebelumnya diharapkan terlindungi justru harus menanggung ongkos ketidakpastian dan penurunan daya saing global.
Prediksi Masa Depan: Eskalasi atau Kolaborasi?
Pakar ekonomi seperti Kenneth Rogoff dari Harvard memperingatkan, konfrontasi semacam ini dapat memperparah polarisasi ekonomi global. BRICS sendiri kini lebih agresif mengembangkan sistem pembayaran lintas negara non-dolar, serta memperkuat aliansi dengan Asia, Timur Tengah, dan Afrika. Jika tarif tambahan benar-benar diberlakukan, adu balas akan makin intens dan bisa mengancam stabilitas keuangan dunia.
Ekonom senior IMF, Gita Gopinath, dalam wawancara dengan BBC menekankan, “Solusi terbaik adalah kolaborasi dan dialog, bukan adu tarif. Dunia butuh kepastian dan kerja sama.” Komentar ini menggambarkan bahwa langkah konfrontatif berpotensi memperdalam ketidakpastian, menghambat investasi, hingga mendorong inflasi global.
Penutup: Jalan Tengah sebagai Harapan
Tarik-ulur tarif antara AS di bawah Trump dan negara-negara BRICS berpotensi mengubah lanskap ekonomi global untuk satu dekade ke depan. Jika jalan tengah berupa diplomasi dan dialog tidak ditempuh, risiko perang dagang massal akan sulit dihindari dan berimbas pada semua lini—mulai dari pelaku usaha hingga masyarakat luas.
Didukung oleh sponsor: Temukan hiburan kompetitif dan peluang hadiah menarik di dahlia77.