Sejak akhir Mei 2025, distribusi bantuan kemanusiaan di Gaza berubah menjadi tragedi kemanusiaan baru. Gaza Humanitarian Foundation (GHF), yang didukung Israel dan Amerika Serikat, mengambil alih sebagian besar distribusi bantuan di tengah blokade ketat Israel. Namun, bukannya menjadi solusi, pusat-pusat distribusi ini justru berubah menjadi zona berbahaya bagi warga Palestina yang kelaparan. Laporan dari berbagai sumber menyebutkan bahwa ratusan warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, tewas atau terluka saat mencoba mengakses bantuan makanan di lokasi-lokasi ini.

Kesaksian Tentara dan Laporan Investigasi: “Ladang Pembantaian”

Sebuah laporan investigasi dari surat kabar Israel, Haaretz, mengungkapkan pengakuan sejumlah tentara Israel yang menyatakan mereka menerima perintah untuk menembak kerumunan warga Palestina yang tidak bersenjata di sekitar pusat distribusi bantuan. Para tentara menggambarkan situasi di lokasi-lokasi tersebut sebagai “ladang pembantaian”, dengan perintah untuk menggunakan senjata berat, seperti senapan mesin, granat, hingga mortir, tanpa adanya upaya pengendalian massa non-mematikan.

“Kami menembakkan senapan mesin dari tank dan melempar granat. Ada satu insiden di mana sekelompok warga sipil terkena tembakan saat bergerak di bawah kabut,” ujar seorang tentara kepada Haaretz.

Menurut kesaksian lain, penembakan dilakukan pada siapa pun yang mendekat sebelum pusat distribusi dibuka, dan setelah jam operasional berakhir, untuk membubarkan kerumunan. “Komunikasi kami adalah tembakan,” ungkap seorang tentara, menambahkan bahwa tidak ada ancaman nyata dari warga sipil yang ditembak, dan tidak pernah ada balasan tembakan dari pihak warga Palestina.

Laporan ini juga menyebutkan bahwa tentara menyebut operasi ini sebagai “Operation Salted Fish”, merujuk pada pola tembak-henti di sekitar pusat bantuan, layaknya permainan anak-anak “Lampu Merah, Lampu Hijau”.

Data Korban dan Reaksi Internasional

Sejak GHF mulai beroperasi, lebih dari 549 warga Palestina tewas dan lebih dari 4.000 terluka saat mencoba mendapatkan bantuan, menurut data Kementerian Kesehatan Gaza. Organisasi kemanusiaan seperti Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) menyebut sistem distribusi ini sebagai “pembantaian yang menyamar sebagai bantuan kemanusiaan” dan menuntut agar mekanisme distribusi yang dikendalikan militer segera dihentikan.

PBB dan lembaga-lembaga internasional lain mengecam keras praktik ini, menuntut investigasi independen atas dugaan kejahatan perang dan menyoroti bahwa “bantuan tidak boleh digunakan sebagai alat militer”. UNICEF dan OHCHR menilai sistem ini bertentangan dengan standar internasional distribusi bantuan dan memperparah penderitaan warga Gaza.

Tanggapan Israel dan Penyelidikan Internal

Pihak militer Israel (IDF) secara tegas membantah tuduhan adanya perintah menembak warga sipil tak bersenjata. Dalam pernyataan resmi, IDF menegaskan bahwa “setiap dugaan pelanggaran hukum atau penyimpangan dari protokol akan diselidiki secara menyeluruh, dan tindakan lanjutan akan diambil bila diperlukan.” Militer mengklaim mereka hanya menembakkan “tembakan peringatan” kepada individu yang mendekati posisi militer, dan menolak semua tuduhan penembakan sengaja terhadap warga sipil.

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Katz bahkan menyebut laporan Haaretz sebagai “fitnah darah” terhadap tentara Israel, menegaskan bahwa IDF adalah “militer paling bermoral di dunia” dan selalu berupaya menghindari korban sipil.

Meski demikian, setelah laporan ini mencuat, IDF memulai investigasi internal atas dugaan kejahatan perang di sekitar lokasi distribusi bantuan. Mekanisme penilaian fakta ini dipimpin oleh Military Advocate General dan bertugas meneliti insiden-insiden dengan korban massal di titik distribusi GHF.

Analisis: Dilema Bantuan, Militerisasi, dan Hak Asasi

Kondisi di Gaza saat ini memperlihatkan dilema kompleks antara kebutuhan mendesak akan bantuan kemanusiaan dan militerisasi distribusi bantuan yang justru memperburuk penderitaan warga sipil. Sistem distribusi GHF, yang dikontrol ketat oleh Israel dan Amerika Serikat, dikritik karena menciptakan “perangkap maut” bagi warga Gaza yang terpaksa memilih antara kelaparan atau risiko ditembak saat mengantre bantuan.

Banyak organisasi HAM dan lembaga internasional menilai praktik ini sebagai bentuk “penggunaan kelaparan sebagai senjata perang” dan pelanggaran berat hukum humaniter internasional. Desakan agar Israel membuka kembali jalur distribusi bantuan di bawah koordinasi PBB semakin menguat, dengan alasan bahwa mekanisme saat ini tidak hanya tidak efektif, tetapi juga mematikan.

Studi Kasus: Suara Korban dan Saksi

Kesaksian para korban dan saksi di lapangan memperkuat gambaran suram ini. Seorang warga Rafah, Mohammad Fawzi, menceritakan bahwa ia dan ratusan lainnya ditembaki saat mencoba mengambil bantuan di pagi hari, dan hanya sedikit yang berhasil membawa pulang makanan. Sementara itu, tenaga medis di Gaza melaporkan lonjakan pasien dengan luka tembak sejak sistem distribusi baru diberlakukan.

Penutup: Tuntutan Akuntabilitas dan Kemanusiaan

Tragedi di pusat-pusat distribusi bantuan Gaza menyoroti kegagalan sistemik dalam melindungi hak-hak sipil dan kemanusiaan di tengah konflik. Investigasi independen dan transparan sangat dibutuhkan untuk memastikan akuntabilitas, sementara tekanan internasional harus terus diarahkan agar bantuan kemanusiaan benar-benar sampai ke tangan yang membutuhkan tanpa menjadi alat atau korban konflik bersenjata.

Selama sistem distribusi masih dikendalikan oleh aktor militer dan bukan lembaga kemanusiaan independen, risiko korban jiwa akan tetap tinggi, dan krisis Gaza akan semakin dalam. Dunia internasional dihadapkan pada pertanyaan mendasar: sampai kapan kelaparan dan kematian akan dijadikan alat tawar-menawar dalam konflik ini?


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *