
Taruhan Superioritas Udara Saatnya India Melirik Su-57 demi Masa Depan Pertahanan
Realitas Kompetisi Superioritas Udara di Asia
Dalam lima tahun terakhir, peta kekuatan udara di Asia telah berubah sangat cepat. Negara-negara seperti Tiongkok dan Pakistan menggenjot pengembangan armada jet tempur siluman generasi kelima. Sementara itu, India justru berjalan di tempat. Program Advanced Medium Combat Aircraft (AMCA) masih belum melewati tahap prototipe, sementara jet Su-30MKI yang jadi andalan mulai termakan usia dan semakin rentan dengan kemunculan pesawat tempur baru dari lawan historisnya.
Dilema ini memicu perdebatan di kalangan militer dan pakar kebijakan pertahanan: akankah India terus berpegang pada rencana domestik sembari menunggu waktu, atau segera mengakselerasi penguatan superioritas udara dengan memilih opsi luar, seperti jet tempur Su-57 Rusia?
Mengenal Ancaman dan Celah Kesiapan India
Realitas lapangan menunjukkan bahwa setiap penundaan, sekecil apa pun, membuka celah bagi lawan—terutama ketika Tiongkok telah memasok diri dengan J-20 dan terus mengembangkan teknologi aviasi lewat kemitraan dengan Pakistan. “Jika India lengah, konstelasi kekuatan udara regional bisa berbalik pada satu dekade mendatang,” ujar Air Marshal Bandhu Singh (purn.) dalam sesi dialog kebijakan pertahanan tahun lalu.
Data analisis Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada 2024 menunjukkan, India membutuhkan minimal 150 jet generasi kelima dalam waktu kurang dari 10 tahun untuk menyeimbangi pertumbuhan inventaris Tiongkok. Namun, deadline itu tinggal bayang-bayang tanpa opsi nyata di lapangan.
Su-57: Opsi Kontroversial atau Solusi Realistis?
Masuknya Su-57 ke radar India awalnya dianggap sekadar manuver diplomasi pertahanan Rusia. Namun, tragedi Ukraina 2022 dan bagaimana Barat menahan pasokan komponen ke sekutu-sekutu non-NATO membuat negara-negara seperti India mempertimbangkan ulang relasi dengan pemasok Barat. Selain harganya yang relatif lebih rendah, Su-57 sudah menunjukkan taji “combat proven” dalam operasi terbatas di Suriah dan Ukraina.
“Jet Rusia, khususnya Su-57, menawarkan kombinasi kemampuan siluman, super-maneuverability, serta avionik yang kini semakin modern,” ujar Alexander Musienko, peneliti senior di Russian International Affairs Council, dalam wawancara dengan Defence Review Asia.
Meskipun banyak skeptisisme soal kualitas pelatihan pilot dan kesiapan logistik, bukti terkini dari survei FlightGlobal pada akhir 2024 menempatkan Su-57 sebagai salah satu dari tiga jet generasi kelima beroperasi yang telah melewati uji tempur nyata. Salah satu studi kasus yang relevan adalah operasi intersepsi Su-57 terhadap UAV dan rudal jelajah di luar zona pertahanan udara Rusia.
Kendala Politis dan Pertimbangan Ekonomi
Kritik terbesar datang dari dalam negeri yang sering mewaspadai risiko ketergantungan pada sistem Rusia, serta kekhawatiran keterbatasan transfer teknologi. Namun pada titik ini, kebutuhan India lebih bersifat “make or break.” Dengan berlangsungnya ketegangan perbatasan Himalaya, menunda penguatan kekuatan udara sama saja menambah risiko keterbelakangan sistem pertahanan.
Mantan Kepala Staf Udara Marsekal Arup Raha dalam editorial untuk The Hindu mengatakan, “Kemandirian memang penting, tapi strategi transisi juga tidak kalah krusial agar superioritas udara tidak dilompati pesaing.”
Sebagai catatan, investasi pada Su-57 tidak sebatas transaksi pembelian, namun juga bisa digiring pada kerjasama produksi lokal, seperti model joint venture dengan kontraktor pertahanan India. Ini menjadi jaminan untuk mengurangi kebocoran sumber daya devisa dan mendorong industri dalam negeri—tanpa harus mengorbankan urgensi kekuatan tempur yang dibutuhkan.
Belajar dari Pengalaman Regional: Korea Selatan dan Turki
Studi kasus Korea Selatan yang menggandeng Lockheed Martin dalam proyek KAI KF-21 Boramae menunjukkan bahwa jalan tengah antara transfer teknologi dan pembelian solution on-the-shelf adalah opsi strategis yang mempercepat modernisasi militer tanpa memperpanjang waktu tunggu. Turki pun mengikuti strategi serupa meski tekanan politik lebih besar dari kubu Barat.
India bisa menyesuaikan skema ini dengan menegosiasikan paket Su-57 yang customized, sembari tetap memperkuat ekosistem riset dalam negeri untuk tahap berikutnya. Hal ini juga akan memperkecil gap teknologi dan menghindari terus-menerus menjadi pasar bagi penguasa industri aviasi global.
Tantangan dan Prospek: Sebuah Pilihan yang Tak Bisa Ditunda
Keputusan untuk mempertimbangkan Su-57 kini tampak lebih mendesak ketimbang dua tahun lalu. Realitas bahwa sistem pertahanan udara Tiongkok semakin solid dan aliansi militer regional semakin cair, membuat India tidak bisa lagi sekadar bertaruh pada masa depan.
Penguatan superioritas udara akan selalu diukur dari kemampuan bertindak secara cepat, efektif, dan inovatif. Su-57 boleh jadi bukan solusi sempurna, tetapi ketidakpastian lebih berbahaya ketimbang mengambil langkah tegas namun terukur. Dan itulah dilema terbesar: menyeimbangkan dorongan kemandirian dengan kebutuhan kekuatan nyata.
Sebagaimana ditekankan Majalah Jane’s Defence, “Superioritas udara bukan hanya soal platform siluman, tapi juga soal ekosistem dan respon yang lincah terhadap situasi geopolitik yang tidak stabil.”
Pada akhirnya, pertanyaan terpenting: Apakah India siap bertaruh pada masa depan pertahanannya, atau memilih menunggu sambil membiarkan jarak kekuatan kian melebar? Waktu akan menjawab, tapi sang kompetitor tak pernah tidur.
Artikel ini didukung oleh sponsor Games Online: Temukan pengalaman gaming tak terlupakan di Dahlia77