Surat Dari Pram

Surat Dari Pram

Surat Dari Pram – Menjelang ulang tahun kelahirannya, saya membaca ulang korespondensi kami. Sungguh mengharukan.

Tidak lama lagi kelahiran Pramoedya A Toer( 6 Februari 1925- 30 April 2006) hendak diperingati bermacam golongan. Susah menciptakan figur intelektual sejenis dengan hasil serta sekalian polemik sebesar dia. Bisa jadi tidak terdapat orang Indonesia lain yang buatan tulisnya dipuja, dicetak- ulang, serta diterjemahkan seluas karya- karya dia, sekalian dilarang, terbakar, serta dikritik di negara sendiri alexa99. Pram dipenjara oleh penguasa kolonial Belanda, penguasa Soekarno( Kerakyatan Terpimpin), serta oleh penguasa Soeharto( Sistem Terkini).

Telah berlimpah pembahasan mengenai buatan tulisnya, pengalaman hidup, pemikiran serta sepak terjangnya, pula wawancaranya. Khazanah pustaka luar lazim itu pantas terkumpul dalam bibliotek di bermacam area di Tanah Air. Apabila butuh, dilengkapi bermacam pengumuman yang anti terhadapnya. Di tengah beberan pustaka yang terhambur besar itu, memo pendek serta perorangan ini contoh satu butir abu.

Aku asian dapat berteman langsung dengan Bung Pram, sedemikian itu panggilan akrabnya. Beliau senantiasa ramah menyambut kunjungan aku lebih dari sekali. Kita rumpi sebagian jam dengan cara bebas di laman depan rumah, di ruang tamunya, pula di kamar kerjanya. Seluruh itu terjalin dekat 40 tahun kemudian.

Aku kurang ingat tanggal- tanggalnya. Yang nyata era itu( medio 1980- an) militerisme Sistem Terkini di pucuk kesuksesan. Pram sedang dikenai narapidana kota 13 tahun sehabis ditahan lebih dari 14 tahun tanpa diadili. Kabarnya pada era itu rumahnya diawasi intel. Mendapati Pram di situ mencoba kegagahan aku melawan dampak teror negeri berslogan antikomunis serta anti- Soekarno.

Aku kurang ingat apa saja yang kita bicarakan dalam sebagian pertembungan itu. Untungnya, beberapa korespondensi aku dengan dia sedang aku simpan. Menjelang balik tahun kelahirannya, aku membaca balik surat- menyurat kita. Sangat mengharukan.

Aku mulai berkirim surat dengan Pram kurang lebih satu tahun saat sebelum awal kali berjamu ke rumahnya. Melalui pelayanan pos, aku memberitahukan diri serta mengirimkan suatu dokumen artikel aku buat ditanggapi. Tidak tersangka, dia telah membalas 4 hari setelah itu. Tidak tanggung- tanggung, pesan tanggapannya setebal 8 laman, ditik satu spasi di atas kertas berdimensi A5.

Pesan jawaban itu dibuka demikian ini:” Bung Ariel, sebetulnya tidak sempat tersangka sedang terdapat seseorang dari barisan universitas ingin menyurati aku. Diiringi dengan referat pula.” Umur aku 30 tahun, namun perasaan aku semacam anak muda yang disapa seseorang idolanya dari bumi nada ataupun berolahraga. Pram tidak senang berbasa- basi. Sampai saat ini aku sedang bingung. Masak, sih, durasi itu belum terdapat orang lain dari universitas di Tanah Air yang menulis pesan ataupun menjumpainya? Namun, kejutan tidak terhambat di sana.

Beliau membaca artikel aku. Bagi ia, artikel aku itu” suatu analisis kesusastraan yang awal kali aku baca hingga berakhir dalam 20 tahun belum lama ini. Kritik ataupun anjuran koreksi yang diharapkan? Astaga! Aku ini orang Orla, seseorang non- konformis, tidak hirau orang senang ataupun tidak senang pada pendapatnya.” Setelah itu ia melancarkan beberapa kritik terang- terangan namun penuh belas kasih atas artikel aku.

Dapat dimengerti bila sepanjang ditahan Sistem Terkini( 1965- 1979) Pram tidak membaca keterangan kesusastraan. Namun, di luar asumsi aku bila beliau tidak membaca hingga habis keterangan kesusastraan apa juga 5 tahun setelah dilepaskan dari narapidana di Pulau Kejar. Dalam sisa suratnya beliau memberi pemikiran mengenai bermacam perkara di Tanah Air serta bumi, tercantum pengalaman hidup pribadinya. Semenjak itu kita silih berkirim pesan pos.

Pesan kedua dari Pram( 6 laman) tidak takluk mencengangkan. Beliau menanggapi permohonan aku hendak masukan buat konsep aku mempelajari hubungan kesusastraan serta alat cap. Aku tidak berambisi ia memiliki durasi ataupun atensi sungguh- sungguh penuhi permohonan itu. Aku sendiri mengajukan permohonan itu sekadarnya selaku alibi buat meneruskan komunikasi. Yang ditawarkan Pram berkeluk kali lebih besar dari yang aku harapkan.

Saat sebelum insiden I965 sudah mulai aku rintis mengakulasi cerpen Bung Karno”, tuturnya.” Durasi itu aku memanglah dapat memobilisasi beberapa mahasiswa. Daya itu saat ini tidak terdapat pada aku. Jika Bung ingin di dasar esok hendak aku sampaikan sebagian perihal.” Beliau berikan petunjuk tahap dini buat aku. Beliau pula menawarkan akses ke beberapa cerpen serta pesan Bung Karno dari koleksinya.

Dengan terharu serta berat batin, ajuan martabat itu aku dorong. Aku merasa sangat pendek serta tidak sedia diberi keyakinan sebesar itu. Terlebih kala beliau mengatakan julukan seseorang ahli Indonesia yang sempat” tiba ke rumah buat memandang koleksi cerpen[tersebut] namun tidak aku luluskan”. Hingga saat ini juga aku belum mengerti gimana Pram dapat membagikan keyakinan sebesar itu pada seseorang anak belia yang terkini dikenalnya cuma melalui 2 puncak pesan.

Jauh luas beliau melukiskan kekagumannya pada wujud Bung Karno. Sementara itu, beliau sempat dipenjara oleh rezim Bung Karno. Pram menulis novel nonfiksinya yang populer, Hoakiau di Indonesia( 1960). Isinya mengkririk kebijaksanaan rasis penguasa( PP Nomor 10 atau 1959).

Sebab aku menyangkal tawarannya, pesan selanjutnya dibuka dengan statment” aku kecewa”. Bukan saja Pram kecewa atas antipati aku, namun terhentinya riset yang sempat dirintisnya. Pram meringik keterbatasan daya serta pergerakan sendiri dan sedikitnya sokongan pihak lain. Beliau mengeluhkan umurnya yang terus menjadi lanjut. Sedangkan itu” amat banyak yang wajib digarap”, tuturnya.

Walaupun kecewa, Pram tidak menyudahi berdamai batin. Beliau mengirimkan dokumen ketikan novel Si Pendatang baru yang belum diterbitkan. Segera aku menulis 2 tipe ulasan buku atas novel itu saat sebelum diterbitkan. Lekas sehabis bukunya keluar( 1985) serta belum dilarang, kedua tipe ulasan buku itu aku kirimkan ke 2 surat kabar terbanyak nasional. Kedua ulasan buku aku ditolak, diiringi pesan uraian tersirat kalau sidang pengarang surat kabar tidak ingin mengutip resiko politiknya.

Di antara lembar- lembar asal usul yang penuh cedera serta peperangan, ada suara yang tidak sempat mati: suara Pramoedya Ananta Toer. Saat ini, suara itu balik menggema melalui” Pesan dari Pram”, suatu buatan yang muat berkas surat- surat individu Pramoedya, yang ditulis dikala beliau ditahan di Pulau Kejar, tanpa cara majelis hukum, sepanjang lebih dari satu dasawarsa. Novel ini bukan cuma memo setiap hari seseorang ahli sastra besar, namun pula ialah akta asal usul yang menyuarakan derajat, perlawanan, serta cinta kepada manusiawi.

Kesusastraan dari Penjara

” Pesan dari Pram” terdiri dari surat- surat yang ditulis Pramoedya pada keluarga, paling utama pada istrinya, Maemunah Thamrin, serta buah hatinya. Surat- surat ini memantulkan pergulatan hati seseorang papa, suami, serta intelektual yang dipisahkan dengan cara menuntut dari bumi yang dicintainya. Tanpa akses kepada mesin tik, novel, ataupun perlengkapan catat sah, Pramoedya menulis dengan tangan di atas kertas- kertas sisa, kadangkala dari balut semen ataupun kertas balut benda.

Surat- surat itu penuh dengan cerita perinci mengenai kehidupan di Pulau Kejar. Dalam style tulisannya yang khas—paduan antara pemilihan asal usul serta karangan bebas sastra—Pramoedya melukiskan situasi para narapidana, kegiatan menuntut di cerang, kelangkaan santapan, sampai titik berat intelektual yang dirasakan para penunggu barak. Tetapi di balik seluruh beban itu, senantiasa terdapat seikat sinar: optimisme, antusias berlatih, serta agama kalau bukti pada kesimpulannya hendak berhasil.

Lebih dari Semata- mata Surat

Novel ini bukan cuma berarti dari bagian kesusastraan, namun pula selaku pangkal asal usul pengganti. Surat- surat Pramoedya menawarkan perspektif orang awal mengenai kejamnya pemerintahan Sistem Terkini yang memenjarakan ribuan orang tanpa cara hukum. Surat- surat ini jadi fakta kalau apalagi dalam keterbatasan raga serta independensi, benak orang dapat senantiasa merdeka.

Periset kesusastraan, Dokter. Cantik Kartika dari Universitas Indonesia, melaporkan kalau Pesan dari Pram menampilkan kalau penyusunan bukan cuma perlengkapan mimik muka, melainkan wujud perlawanan.“ Tiap alinea merupakan pengingat kalau pandangan tidak dapat dibungkam. Pramoedya membuktikan kalau menulis merupakan metode sangat rukun serta sangat kokoh buat melawan ketidakadilan,” ucapnya.

Cinta yang Tidak Sempat Padam

Salah satu bagian yang memegang dari” Pesan dari Pram” merupakan gimana Pramoedya mengantarkan rasa cintanya pada keluarga. Dalam surat- suratnya, beliau sering membilai ajakan pada buah hatinya supaya senantiasa berlatih, bersikap bagus, serta menyayangi ilmu wawasan. Pada istrinya, beliau menulis dengan kelembutan yang tidak sering nampak dari wujud yang diketahui selaku komentator runcing pemerintahan penguasa.

Beliau menulis,“ Saya di mari hidup, serta lalu hidup sebab kamu. Kesabaranmu merupakan kekuatanku. Tiap malam saya memikirkan wajahmu, serta doa- doamu yang hingga ke pulau ini dengan angin yang tiba dari arah utara.”

Surat- surat itu membuat pembaca mengetahui kalau Pram bukan cuma seseorang ahli sastra besar, namun pula orang lazim yang merindukan dekapan keluarganya, yang menulis dengan air mata, bukan semata- mata tinta.

Cara Pengumuman yang Panjang

Berkas pesan ini tidak kontan dapat diterbitkan. Banyak dari surat- surat Pram diselamatkan oleh keluarganya serta terkini dapat disusun dengan cara utuh bertahun- tahun sehabis beliau dibebaskan. Pencetak Hasta Kawan kerja bertugas serupa dengan Arsip Nasional serta keluarga Pramoedya buat membenarkan kemurnian akta serta kondisi penyusunan.

Gadis anak pertama Pramoedya, Astuti Toer, dalam peresmian novel itu melaporkan,“ Ini merupakan bagian dari peninggalan Ayah yang belum banyak dikenal khalayak. Kita mau warga memahami bagian lain Pramoedya—sebagai papa, selaku suami, selaku orang yang tidak sempat kehabisan impian.”

Relevansi Hari Ini

Walaupun ditulis puluhan tahun kemudian,” Pesan dari Pram” senantiasa relevan dengan situasi Indonesia hari ini. Di tengah kemunduran kerakyatan serta pembungkaman kepada independensi berekspresi, suara- suara semacam Pram jadi pengingat kalau independensi merupakan hak bawah yang tidak dapat ditawar.

Penggerak HAM Usman Hamid mengatakan kalau novel ini“ wajib dibaca oleh angkatan belia, supaya mereka ketahui kalau kerakyatan yang dinikmati hari ini diperjuangkan dengan darah, air mata, serta catatan.”

Banyak golongan pembelajaran pula sudah memasukkan Pesan dari Pram ke dalam kurikulum kesusastraan serta asal usul di sebagian akademi besar, selaku materi amatan mengenai kewenangan, independensi, serta manusiawi.

Menghidupkan Balik Pram

Tidak hanya novel raga, Pesan dari Pram pula hendak diterbitkan dalam wujud audio serta digital. Bintang film tua Butet Kartaredjasa sudah memuat suara buat tipe audio book, menghidupkan balik suara Pram dengan pendalaman mendalam.“ Aku merasa semacam berdialog langsung dengan dia. Tiap tutur yang dibacakan seakan mempunyai denyut, perasaan, serta jiwa,” tutur Butet dalam rapat pers peresmian.

Demonstrasi spesial pula diselenggarakan di Galeri Nasional, menunjukkan pesan asli, gambar, dan barang- barang individu Pramoedya sepanjang di Pulau Kejar. Demonstrasi ini hendak berjalan sampai akhir Juni 2025, serta sudah menarik ribuan wisatawan semenjak dibuka dini bulan ini.

Penutup: Pesan dari Era Kemudian buat Era Depan

” Pesan dari Pram” merupakan fakta kalau perkata dapat melewati durasi, mendobrak jeriji, serta memegang batin angkatan era saat ini. Beliau merupakan peringatan sekalian harapan—bahwa di tengah represi, senantiasa terdapat yang bertahan. Serta dalam sepi, senantiasa terdapat suara yang lalu menulis.

Semacam yang ditulis Pramoedya dalam salah satu suratnya,“ Orang bisa cerdas setinggi langit, tetapi sepanjang beliau tidak menulis, beliau hendak lenyap dalam warga serta dari asal usul.”

Dengan membaca” Pesan dari Pram”, kita bukan cuma membaca cerita seseorang narapidana politik. Kita membaca asal usul bangsa, serta lebih dari itu, kita membaca mengenai kegagahan buat senantiasa jadi manusia—di tengah seluruh usaha buat dilenyapkan.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *