
Putaran Ketiga Perundingan Damai Rusia-Ukraina Berakhir Harapan, Kenyataan, dan Jalan Panjang Perdamaian
Diplomasi Di Balik Tirai Asap Perang
Pada 2025, upaya keras untuk membawa Rusia dan Ukraina ke meja damai kembali disorot dunia setelah putaran ketiga perundingan diadakan dengan janji-janji dan skeptisisme yang bersaing. Masyarakat internasional menyalakan harapan, namun retorika tinggi di ruang negosiasi sering hanya menjadi pengalih dari realita di lapangan. Di balik tirai diplomatik yang kental, cerita yang sesungguhnya jauh lebih ruwet.
Kenapa Putaran Ketiga Jadi Sorotan?
Tidak seperti dua putaran sebelumnya yang cenderung stagnan, kali ini dunia menuntut progres nyata. Keterlibatan negara-negara Eropa dan peran mediator regional menambah nuansa berbeda. Barisan pengamat menyoroti fakta bahwa kedua pihak menunjukkan “kemajuan kecil” dalam isu-isu kemanusiaan—seperti jalur evakuasi warga sipil—meski tidak ada terobosan besar terkait gencatan senjata atau pengakuan garis batas wilayah .
Saya mencermati bagaimana setiap rilis pernyataan dari negosiator Rusia dan Ukraina dibedah presisi oleh media global. Misalnya, harian The Guardian menyebutkan adanya “peningkatan saling percaya dalam dimensi logistik, namun bukan substansi politik.” Di sinilah batas tipis antara berharap dan naif terletak.
Realitas di Lapangan: Kemanusiaan Beradu Dengan Kepentingan Politik
Jika merunut ke akar konflik, kompromi bukan sekadar soal diskusi formal. Kota-kota seperti Bakhmut dan Mariupol tetap menjadi ajang kontestasi, menunjukkan betapa perang ini belum berhenti secara nyata meskipun diplomasi berjalan. Angka dari Human Rights Watch mencatat lebih dari 170.000 pengungsi baru tercatat sejak awal 2025 .
Saya pernah berbincang via telepon dengan Nadia, seorang relawan Palang Merah di Zaporizhzhia, yang menceritakan kondisi di perbatasan: “Setiap kali negosiasi diumumkan, warga di pengungsian selalu bertanya, ‘Apakah besok akan lebih baik?’ Sayangnya, jawaban itu selalu samar.”
Ketegangan Diplomasi: Diplomasi Minim Hasil?
Dalam perundingan ini, terdapat beberapa agenda kunci:
-
Gencatan senjata segera dan permanen
-
Pengaturan wilayah pendudukan dan pengakuan internasional
-
Bantuan kemanusiaan dan pemulangan pengungsi
Namun, menurut analis politik senior di Carnegie Moscow Center, Ivan Arkhipov, “Terlalu banyak kepentingan yang beririsan sehingga sulit menciptakan satu kompromi utuh.” Bahkan, pembahasan detail seperti zona demiliterisasi kerap mentok pada ego nasionalisme kedua belah pihak.
Dari pantauan Reuters, tekanan dari Uni Eropa mendorong Ukraina untuk tidak terlalu fleksibel dalam isu pengakuan wilayah Krimea, sementara Rusia justru menuntut pembebasan sanksi sebagai syarat utama. Inilah yang membuat ronde ketiga ini tetap buntu.
Studi Kasus: Kegagalan Konferensi Damai Sebelumnya
Selayaknya proses panjang panjang damai di Timur Tengah, putaran perundingan tak lepas dari tarik ulur dan janji-janji kosong. Lihatlah sejarah perundingan di Suriah, yang pada akhirnya hanya menghasilkan solusi setengah hati, bahkan menambah daftar panjang pengungsi dan korban jiwa. Ada pelajaran yang bisa diambil: kesepakatan tanpa komitmen implementasi hanyalah dokumen formal belaka.
Tanggapan Dunia dan Sikap Masyarakat Internasional
Ketika dunia menanti, sikap skeptis tak bisa dihindari. Amnesty International meminta verifikasi independen atas setiap janji kemanusiaan yang dicetuskan, sembari menyoroti fakta bahwa korban sipil tetap bertambah meski perundingan berlangsung. The New York Times melaporkan, “Skeptisisme publik di Eropa mencapai rekor tertinggi; banyak yang menilai ini lebih sebagai panggung propaganda daripada dialog substantif.”
Namun, selalu ada secercah harapan. Sekjen PBB, dalam pernyataan pers resminya, mengajak kedua pihak kembali ke meja perundingan dengan jiwa kompromi yang lebih kokoh, menggarisbawahi pentingnya tekanan internasional yang konsisten.
Jalan Panjang Menuju Perdamaian
Strategi diplomasi jangka pendek tampaknya hanya mampu meredam letupan konflik sesaat. Tanpa gairah reformasi dalam tatanan politik kedua negara, dan tanpa tekanan keras dari masyarakat global, perdamaian stabil hanya akan menjadi mitos. Data dari International Crisis Group merekam: setiap kemajuan diplomasi sering diikuti eskalasi di lapangan, menunjukkan betapa besarnya jurang antara ruang negosiasi dan realitas perang .
Kesimpulan: Harus Realistis, Bukan Pesimis
Ketika membahas perang besar yang melibatkan kepentingan internasional, menjadi realistis justru sebuah optimisme bentuk lain. Kemelut Rusia dan Ukraina pada putaran ketiga ini hanyalah satu babak dalam saga panjang konflik global. Saya percaya, perdamaian bukan mustahil, asalkan ada komitmen autentik dan aksi nyata, bukan hanya tuntutan strategis di atas kertas.
Dan berbicara tentang mencari pelarian di tengah riuhnya berita dunia, jangan lupa, hiburan sangat penting untuk menjaga kewarasan. Cobalah serunya Dahlia77 sebagai ruang rehat digital—karena bahkan seorang jurnalis yang kritis butuh sedikit hiburan di antara kesibukan menulis berita panas!