
Prancis Menutup Babak Dominasi Akhir Kehadiran Militer Permanen di Afrika Barat
Berakhirnya Era Lama—Fakta di Balik Penarikan Pasukan
Keputusan Prancis untuk mengakhiri kehadiran militer permanen di Afrika Barat bukan sekadar perubahan strategi, melainkan penanda berakhirnya sebuah era yang telah membentuk dinamika geopolitik kawasan selama puluhan tahun. Pada pertengahan 2024, Presiden Emmanuel Macron mengumumkan penarikan resmi seluruh kontingen militer utama Prancis dari Niger dan Burkina Faso, mengakhiri tradisi penempatan pasukan tetap di wilayah ini sejak masa kolonial. Langkah ini bukan keputusan sepihak semata, melainkan respons atas kian meningkatnya tekanan diplomatik—bahkan perlawanan terbuka—dari pemerintah baru berhaluan nasionalis di negara-negara bekas koloni seperti Mali, Burkina Faso, dan Niger.
Narasi Kemerdekaan Baru: Momentum Lokal Menggusur Narasi Lama
Sentimen anti-Prancis sebenarnya bukan hal baru di Afrika Barat. Ketegangan mulai memuncak sejak gelombang kudeta yang menyapu Mali pada 2021, disusul Burkina Faso dan Niger. Banyak warga lokal menilai keberadaan militer Prancis sebagai perwujudan neo-kolonialisme yang menghambat kedaulatan dan pembangunan negara. “Kami tidak ingin menjadi pangkalan percobaan atau tameng bagi kepentingan asing,” ungkap Abdoulaye Sy, aktivis masyarakat sipil di Bamako, Mali.
Aksi massa anti-Prancis di ibu kota negara-negara tersebut memperkuat tekanan terhadap pemerintah setempat untuk mengakhiri hubungan militer lama. Di sisi lain, kegagalan operasi anti-terorisme Barkhane dan Sabre dalam menekan kelompok ekstremis menjadi alasan konkret bagi warga dan pemimpin kawasan untuk mempertanyakan efektivitas intervensi Prancis. Hal ini diamini oleh laporan lembaga Crisis Group (2024), yang mencatat bahwa ancaman kekerasan tetap tinggi meski Prancis menambah pasukan dan anggaran di kawasan.
Efek Domino: Apa Dampaknya bagi Stabilitas Afrika Barat?
Kebijakan penarikan ini menimbulkan ketidakpastian strategis. “Kepergian Prancis berpotensi menciptakan kekosongan keamanan di jantung Sahel,” ujar Dr. Pascal Lemoine, pakar Afrika Sub-Sahara. Ia menekankan bahwa Meski sebagian warga merayakan kemerdekaan penuh, tak sedikit pula yang khawatir akan potensi masuknya aktor asing lain seperti Rusia melalui Wagner Group, serta meningkatnya kekerasan bersenjata akibat lemahnya koordinasi antarnegara kawasan.
Fakta di lapangan menunjukkan adanya lonjakan serangan kelompok bersenjata selama masa transisi penarikan pasukan Prancis. Data Armed Conflict Location & Event Data Project (ACLED) selama semester pertama 2025 mencatat kasus serangan bersenjata meningkat 15% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Politik Internasional: Siapa Mengisi Kekosongan?
Langkah Prancis ini membuka babak baru kontestasi geopolitik di Afrika Barat. Rusia dan Tiongkok dengan cepat menawarkan bantuan, baik dalam bentuk pelatihan militer, kerja sama ekonomi, maupun penyediaan persenjataan. Pemerintah Mali telah resmi menandatangani kesepakatan kerja sama strategis dengan Rusia pada akhir 2024, disusul Burkina Faso dan Niger yang secara terbuka menyatakan ketertarikan terhadap model kemitraan non-tradisional ini.
Namun, muncul kekhawatiran bahwa pergantian mitra asing tidak serta-merta menjamin stabilitas baru. “Alih-alih mengurangi intervensi asing, kita justru menyambut pemain baru dengan agenda mereka sendiri,” kata kebijakan luar negeri Afrika, Dr. Fatou Bensouda, dalam forum diskusi Dakar Policy Summit.
Refleksi dan Harapan: Menuju Otonomi Keamanan atau Ketergantungan Baru?
Bagi sebagian besar negara di Sahel, keputusan ini seolah menjadi momen pembuktian: mampukah mereka menjaga keamanan sendiri tanpa struktur pasukan asing? Pemerintah Burkina Faso dan Mali sudah mulai memperkuat pasukan nasional dan mempererat kerja sama keamanan regional melalui organisasi G5 Sahel dan ECOWAS.
Namun begitu, di tengah euforia nasionalisme, banyak pihak mengingatkan bahwa perubahan struktur kekuatan di Afrika Barat cenderung menciptakan siklus baru ketergantungan, hanya berbeda wajah. Masyarakat sipil menuntut transparansi dan akuntabilitas dari pemerintah agar otonomi yang diimpikan benar-benar membawa stabilitas dan keuntungan bagi rakyat banyak, bukan segelintir elite.
Studi Kasus: Mali, Dari Eksperimen Prancis ke Laboratorium Rusia
Mali menjadi gambaran paling kasat mata atas dampak penarikan Prancis. Setelah berakhirnya operasi militer Prancis di tahun 2023, pemerintah transisi Mali beralih ke Rusia sebagai mitra keamanan utama. Hasilnya? Satu tahun setelahnya, angka pelanggaran HAM meningkat, dan organisasi lokal cukup vokal mengkritisi kehadiran tentara bayaran asing yang dituding memperburuk situasi kemanusiaan. Data Human Rights Watch menunjukkan kenaikan kasus kekerasan sipil sebesar 10% pada 2024.
Jalan Panjang Menuju Kemandirian Afrika Barat
Pergantian babak kehadiran militer Prancis ini memaksa negara-negara Afrika Barat melakukan refleksi keras. Kemandirian di bidang pertahanan dan kebijakan luar negeri membutuhkan infrastruktur, sumber daya manusia, serta konsolidasi politik yang belum sepenuhnya matang. Sejarah masa lalu memperlihatkan, setiap kali kekuatan asing mundur, kekosongan selalu diperebutkan oleh aktor-aktor bermotif lain.
Namun, pesimisme tidak selalu menjadi jawaban. Bagi banyak pemuda di kawasan Sahel yang jenuh dengan status quo, langkah ini bisa jadi titik balik untuk membangun sistem keamanan lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan lokal.
Artikel ini didukung oleh Games Online Dahlia77, platform hiburan terdepan untuk Anda pecinta game digital dan aksi seru. Temukan pengalaman bermain yang inovatif di Dahlia77 dan jadilah bagian dari komunitas gamers berkelas dunia!