Pilih Hunian Vertikal yang Hijau Dan Asri – Saat ini, merupakan saat baik bagi konsumen untuk membeli apartemen. oleh Bank Indonesia.
Waktu yang terbatas dengan aktivitas begitu padat membuat sebagian warga Jakarta dan kota-kota penyangganya kini lebih cermat menjalani kehidupan. Mereka memilih hunian vertikal di lokasi premium dekat pusat perbelanjaan, tempat nongkrong, kuliner, hingga tempat bekerja alexa99.
Seiring peningkatan kesadaran konsumen terhadap properti ramah lingkungan, pengembang mulai membangun hunian vertikal dengan lingkungan yang asri. Sebagai regulator, pemerintah juga sedang mendorong pembangunan gedung-gedung ramah lingkungan.
Menurut Direktur Bina Teknik Permukiman dan Perumahan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Dian Irawati, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (7/2/2024), penyelenggaraan bangunan gedung hijau menjadi bagian dari strategi pemerintah dalam mengurangi dampak perubahan iklim dan mempromosikan pembangunan berkelanjutan.
Hingga kini, terdata enam bangunan gedung, lima perumahan dan satu kawasan yang telah disertifikasi Bangunan Gedung Hijau (BGH) sesuai Peraturan Menteri PUPR Nomor 21 Tahun 2021. Selain itu, Rusun Tenaga Pendidik Universitas Gadjah Mada telah menerapkan konsep hijau, kemudian mendapat sertifikasi BGH dan peringkat madya pada tahap perencanaan.
Namun, terdapat sejumlah tantangan dalam mewujudkan bangunan gedung hijau. Di antaranya, belum komprehensifnya pendataan bangunan gedung di Indonesia, masih terbatasnya tim profesi ahli bangunan gedung hijau di daerah, serta belum ditetapkannya skema insentif dan disinsentif di daerah, baik yang ditetapkan daerah maupun mekanisme lain seperti melalui perdagangan karbon.
Implementasi bangunan gedung hijau pada hunian vertikal juga menghadapi tantangan, terutama terkait adaptasi perilaku penghuni. Keterbatasan ruang kerap menyebabkan ketergantungan penghuni pada peralatan elektronik. Interaksi penghuni dengan lingkungan tempat tinggal mereka juga terbatas
Hunian vertikal juga merupakan ruang pribadi bagi penghuni, sehingga pengaturan perilaku menjadi cenderung sulit dilakukan,” tulis Dian.
Dengan begitu, ditambahkan Dian, dibutuhkan pendekatan komprehensif yang melibatkan edukasi, desain ruang, dan interaksi sosial untuk menciptakan lingkungan yang nyaman dan berkelanjutan bagi penghuni hunian vertikal yang menerapkan konsep bangunan gedung hijau.
Penurunan emisi
Untuk mempercepat penyelenggaraan bangunan gedung hijau, pihaknya mendorong pemerintah daerah untuk segera menetapkan skema insentif dan penyelenggara bangunan gedung hijau di daerah, serta bekerja sama dengan kementerian dan lembaga lainnya.
Pihaknya berencana melakukan nota kesepahaman dengan Kementerian ESDM dan Kementerian Dalam Negeri untuk mengimplementasikan rencana pembinaan yang telah tercantum dalam peta jalan penyelenggaraan dan pembinaan bangunan gedung hijau. Selain itu, penerbitan Surat Edaran Bersama tiga Kementerian tersebut kepada seluruh kabupaten/kota untuk mendorong implementasi penyelenggaraan bangunan gedung hijau di wilayahnya masing-masing.
Sejalan dengan Paris Agreement, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai bagian dari upaya global dalam mengatasi perubahan iklim. Dalam target Enhanced Nationally Determined Contributions (eNDC), Indonesia menetapkan pengurangan emisi GRK tanpa syarat sebesar 31,89 persen dan pengurangan emisi bersyarat sebesar 43,2 persen pada tahun 2030. Hal ini juga sejalan dengan arahan Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) dengan tujuan akhir mencapai net-zero emission pada tahun 2060.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 dan Perpres Nomor 98 Tahun 2021, bangunan gedung dianggap sebagai bagian dari sektor energi dan memiliki peran penting dalam mitigasi emisi gas rumah kaca. Sub-sektor Bangunan Gedung memiliki target untuk menurunkan emisi GRK sebesar 8,85 persen, dengan 1,91 juta ton CO2 ditargetkan untuk komersial dan 25,87 juta ton CO2 untuk rumah tangga.
Skema insentif
Core Founding Member Green Building Council Indonesia (GBCI) Naning S Adiningsih Adiwoso, mengemukakan, implementasi bangunan hijau untuk apartemen tidak hanya menyasar fisik bangunan hijau, tetapi lebih penting adalah menyasar masyarakat dan perilaku penghuninya.
Namun, tidak mudah mengubah perilaku masyarakat untuk ramah lingkungan dan hemat energi. Diperlukan edukasi dari operator apartemen kepada penghuni bahwa gedung didesain dengan konsep hijau. Perilaku penghuni pun diharapkan berubah misalnya menggunakan listrik secara lebih efisien.
“Yang kita sasar adalah masyarakat. Bukan sekadar proyek bangunan hijau, lalu selesai. Pemeliharaan lingkungan dan perilaku penghuninya lebih penting. Bangunan hijau, tetapi perilaku orang tidak mengadopsi konsep hijau maka tidak ada gunanya,” ujar Naning.
Namun, ditambahkan Naning, harga apartemen dengan konsep hijau juga tidak murah.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Real Estat Indonesia (REI) Joko Suranto, mengemukakan, apartemen dengan konsep hijau memang umumnya lebih mahal. Karena itu, perlu insentif berupa keringanan pajak, biaya administrasi ataupun bea perolehan hak atas tanah dan bangunan guna mendorong animo pembeli dan juga pengembang.
Warga berolahraga di area forest park EleVee Condominium di kawasan Alam Sutera, Kota Tangerang, Banten, Rabu (10/1/2024).
Ia mencontohkan, konsumen motor listrik mendapatkan insentif hingga 25 persen dari harga jual. Dia pun menyarankan ada insentif bagi pembelian bangunan gedung hijau yang memiliki nilai lebih tinggi dan memberikan kesehatan bagi masyarakat.
Salah satu contoh hunian vertikal dengan konsep hijau adalah Kondominium EleVee di Kota Tangerang, Banten. Chief Marketing Officer EleVee Condominium Alvin Andronicus, ditemui Rabu (10/1/2024) di Kota Tangerang, menjelaskan, EleVee Penthouse dan Residences sejak awal didesain oleh Alam Sutera untuk mendukung gaya hidup hijau.
Dialokasikan lahan empat hektar di sekitar bangunan kondominium untuk taman hutan (forest park). Kemudian, setiap kondominium didesain memiliki tinggi plafon sekitar 3,1 meter, lebih tinggi dibanding tinggi rata-rata bangunan yang berkisar 2,7 meter.
Sampah diangkut, lalu diolah untuk kebutuhan 3R (menggunakan kembali, mengurangi, dan daur ulang). Kami membuatkan fasilitas pengolahan air bersih dan lintasan untuk lari,” ujar dia. Bila pengembang lain harus berpikir keras untuk membangun ruang terbuka hijau, Alam Sutera bahkan membangunkan lintasan lari.
Ramah hewan peliharaan
Kini, dua menara EleVee dalam tahap pembangunan. Satu menara di antaranya bahkan merupakan kondominium yang ramah terhadap hewan peliharaan dengan fasilitas taman bermain untuk hewan peliharaan. Menurut Alvin, kini ada fenomena semakin banyak orang mempunyai hewan peliharaan. Keinginan konsumen itu dipenuhi oleh Alam Sutera.
Dari proyek dua menara EleVee tersebut, serapannya telah mencapai 85 persen. Pengecoran atap atau topping off dijadwalkan bulan Juni 2024, lalu serah terima unit akhir 2024 sampai awal 2025. Alam Sutera rencananya akan membangun menara ketiga pada tahun 2024.
“Kami tidak terburu-buru untuk membuka menara baru karena kami bertanggung jawab terhadap proses pembangunan. Kontraktor yang membangun EleVee adalah Ascet Indonusa yang sudah terbukti bagus. Satu lantai normalnya bisa terbangun dalam kurun waktu 10 hari,” ucapnya.
Lingkungan sosial
Selain fasilitas gaya hidup hijau, Alam Sutera juga menawarkan kehadiran lingkungan sosial yang kokoh bagi pembeli kondominium EleVee. Pertama, sistem parkir yang dijamin keamanannya. Kedua, hanya pemilik yang mempunyai kunci unit berupa password. Ketiga, di sekitar kawasan kondominium sudah ada hunian. Keempat, Alam Sutera membangunkan gymnasium, pusat yoga hingga kolam renang.
Lebih jauh Alvin memaparkan, kebanyakan pembeli unit kondominium di EleVee adalah konsumen akhir, seperti warga dari Jakarta Selatan dan Jakarta Utara. Konsumen umumnya berusia 30–40 tahun. Ada juga pembeli yang usianya lebih senior walau berencana menempati kondominium saat akhir pekan.
Head of Research Colliers Indonesia Ferry Salanto, ditemui terpisah, berpendapat, Kota Tangerang dan Tangerang Selatan merupakan daerah yang prospektif. Kawasan itu telah lama berkembang sehingga infrastruktur dasar sampai komunitas masyarakat telah terbentuk.
Selain itu, dari sisi harga masih terjangkau. Warga yang memilih tinggal di sana biasanya bekerja ke Jakarta. Apartemen yang mendukung gaya hidup seperti itu akan dicari,” ujar dia.
Saat ini, lanjut Ferry, merupakan saat yang baik bagi konsumen untuk membeli apartemen. Suku bunga sudah disesuaikan oleh Bank Indonesia. Lalu, pemerintah telah mengeluarkan insentif pajak pertambahan nilai (PPn) meskipun tidak semua kalangan bisa menikmati.
Di tengah semakin terbatasnya lahan perkotaan, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung, tren hunian vertikal terus mengalami peningkatan. Apartemen, kondominium, hingga rumah susun menjadi pilihan banyak masyarakat urban untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal yang praktis dan strategis. Namun, seiring kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup dan kualitas udara yang sehat, kini mulai muncul tuntutan baru: hunian vertikal yang hijau dan asri.
Hunian vertikal tidak lagi cukup sekadar menyediakan tempat tinggal yang nyaman dan aman. Para pengembang kini ditantang untuk menghadirkan konsep green living di lingkungan apartemen, termasuk di antaranya penataan ruang terbuka hijau, pemanfaatan energi terbarukan, hingga desain bangunan yang ramah lingkungan. Hunian vertikal yang hijau kini menjadi simbol gaya hidup modern yang sadar lingkungan dan berkelanjutan.
Ruang Hijau di Tengah Beton
Salah satu tantangan utama dalam menciptakan hunian vertikal yang hijau adalah minimnya ruang terbuka. Namun, beberapa pengembang telah membuktikan bahwa keterbatasan ruang bukan hambatan untuk menciptakan lingkungan yang asri. Salah satunya adalah proyek apartemen di kawasan Jakarta Selatan yang mengintegrasikan taman vertikal (vertical garden) pada dinding bangunan, serta menyediakan sky garden di setiap beberapa lantai.
“Konsepnya adalah membawa alam ke atas. Kami sadar bahwa banyak penghuni yang rindu suasana hijau seperti di rumah tapak. Maka dari itu, kami hadirkan taman-taman di lantai atas, balkon dengan tanaman merambat, serta area rooftop yang dilengkapi jalur jogging dan kebun komunitas,” ujar Rita Ayu, Head of Development PT Arsitek Hijau Nusantara.
Upaya semacam ini tidak hanya memberikan nilai estetika, tetapi juga berdampak pada kualitas hidup penghuni. Tanaman hijau terbukti mampu menurunkan suhu udara, menyerap polutan, dan memberikan ketenangan secara psikologis. Dalam lingkungan perkotaan yang bising dan padat, kehadiran unsur hijau menjadi oase yang sangat dibutuhkan.
Efisiensi Energi dan Teknologi Ramah Lingkungan
Selain aspek estetika dan kenyamanan, hunian hijau juga identik dengan efisiensi energi. Banyak pengembang yang kini mulai mengaplikasikan teknologi bangunan hijau (green building) dalam proyek mereka. Panel surya di atap, sistem daur ulang air limbah, penggunaan lampu LED hemat energi, hingga smart home system yang membantu mengontrol penggunaan listrik secara efisien, kini semakin umum diterapkan.
Sebagai contoh, apartemen GreenSky Residence di Tangerang menerapkan sistem pengelolaan air hujan untuk menyiram tanaman di seluruh area bangunan. Mereka juga menyediakan jalur sepeda, charging station untuk kendaraan listrik, serta fasilitas parkir khusus sepeda.
“Ini semua bagian dari tanggung jawab kami sebagai pengembang. Kami tidak hanya membangun, tetapi juga berkontribusi menjaga kelestarian lingkungan dan mendukung gaya hidup sehat penghuni,” tutur Arief Santoso, Direktur Operasional GreenSky Development.
Penggunaan material bangunan juga menjadi perhatian penting. Material ramah lingkungan seperti kayu bersertifikat, cat rendah VOC (Volatile Organic Compounds), serta bahan daur ulang kini menjadi standar baru dalam proyek-proyek hunian vertikal kelas menengah ke atas.
Komunitas dan Ruang Sosial
Hunian vertikal yang hijau juga berarti membangun komunitas yang harmonis. Kehadiran ruang komunal yang nyaman dan asri dapat mendorong interaksi sosial antarpenghuni. Banyak apartemen kini menyediakan area terbuka yang bisa digunakan bersama, seperti taman bermain anak, kebun hidroponik bersama, area barbeque, dan ruang baca terbuka.
Hal ini terbukti meningkatkan rasa memiliki terhadap lingkungan tempat tinggal dan memperkuat ikatan sosial. Di beberapa apartemen, bahkan terbentuk komunitas bercocok tanam yang secara rutin mengelola kebun bersama, memanen sayuran, dan mengadakan workshop pertanian urban.
“Saya senang tinggal di sini karena tidak hanya dapat udara segar dari taman, tapi juga bisa berteman dengan tetangga lewat aktivitas berkebun,” kata Lina Herawati, seorang penghuni apartemen yang tergabung dalam komunitas “Hijau Bersama”.
Tantangan dan Masa Depan Hunian Hijau
Meski semakin diminati, konsep hunian vertikal hijau masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah biaya pembangunan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bangunan konvensional. Penggunaan teknologi hijau dan perawatan taman memerlukan investasi jangka panjang yang tidak sedikit.
Namun, menurut Dwi Hartanto, pakar tata kota dari Universitas Gadjah Mada, investasi tersebut akan kembali dalam bentuk efisiensi operasional, peningkatan nilai properti, serta kesehatan dan kenyamanan penghuni.
“Konsep hunian hijau bukan sekadar tren, tapi kebutuhan. Di masa depan, dengan makin terbatasnya sumber daya dan tekanan lingkungan yang tinggi, hunian yang ramah lingkungan akan menjadi standar baru,” ujarnya.
Dwi juga mendorong pemerintah untuk memberikan insentif bagi pengembang yang membangun hunian vertikal hijau, seperti keringanan pajak, kemudahan perizinan, atau subsidi untuk penggunaan energi terbarukan.
Masyarakat Semakin Selektif
Di sisi lain, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya lingkungan hidup turut mendorong perubahan tren ini. Banyak calon pembeli atau penyewa yang kini menempatkan aspek keberlanjutan sebagai salah satu pertimbangan utama dalam memilih hunian.
“Kalau dulu orang cari apartemen yang dekat kantor dan mall, sekarang tambah satu lagi: yang hijau, nyaman, dan punya sirkulasi udara baik,” kata Dinda Pramesti, agen properti independen yang banyak menangani klien milenial dan keluarga muda.
Media sosial juga ikut mendorong tren ini. Foto-foto taman atap, balkon dengan tanaman tropis, hingga interior apartemen dengan konsep natural banyak beredar di platform seperti Instagram dan TikTok, membuat gaya hidup hijau menjadi sesuatu yang aspiratif.
Kesimpulan
Hunian vertikal hijau dan asri bukan sekadar solusi terhadap keterbatasan lahan, tetapi juga representasi dari gaya hidup baru yang sadar lingkungan, sehat, dan berkelanjutan. Dengan dukungan teknologi, komunitas, dan kesadaran kolektif, hunian jenis ini diyakini akan menjadi pilihan utama generasi masa kini dan masa depan.