
Pekerjaan Wajib bagi Pengungsi Transformasi Kebijakan Uni Eropa dalam Menghadapi Tantangan Integrasi
Sejak krisis pengungsi besar-besaran tahun 2015, Eropa menghadapi tantangan besar dalam mengelola arus masuk jutaan orang yang melarikan diri dari perang dan ketidakstabilan di Timur Tengah, Afrika, dan belakangan Ukraina. Salah satu respons kebijakan yang kini semakin menonjol adalah penerapan pekerjaan wajib bagi pengungsi di sejumlah negara Uni Eropa. Langkah ini memicu perdebatan hangat: apakah kebijakan tersebut solusi efektif untuk integrasi, atau justru menambah beban sosial baru?
Latar Belakang: Mengapa Pekerjaan Wajib Diperkenalkan?
Gelombang pengungsi yang masuk ke Eropa membawa konsekuensi sosial, ekonomi, dan politik yang luas. Negara-negara seperti Jerman dan Austria, yang menjadi tujuan utama para pengungsi, menghadapi tekanan untuk menyeimbangkan kebutuhan kemanusiaan dengan tuntutan masyarakat lokal yang menginginkan keadilan sosial dan keberlanjutan fiskal.
Di Jerman, misalnya, pada Februari 2024 tercatat sekitar 700.000 pengungsi dari delapan negara, terutama Suriah dan Afganistan, terdaftar sebagai tenaga kerja. Namun, tidak lebih dari separuh yang benar-benar bisa bekerja, sementara sisanya masih mengikuti kursus bahasa atau pelatihan kejuruan. Tekanan publik agar pengungsi berkontribusi secara nyata terhadap masyarakat penerima pun semakin besar.
Studi Kasus: Austria dan “Burgenland Model”
Austria menjadi pelopor kebijakan pekerjaan wajib dengan meluncurkan skema di negara bagian Burgenland pada 1 Juli 2025. Dalam skema ini, pencari suaka diwajibkan bekerja untuk pemerintah daerah setempat. Mereka yang menolak tanpa alasan sah akan mengalami pemotongan tunjangan sosial hingga batas minimum.
Menurut Daniela Winkler, anggota dewan negara bagian dari Partai Sosial Demokrat Austria, “Migrasi harus layak secara finansial dan sosial. Ketika pencari suaka menjadi kontributor bagi komunitas, prasangka akan memudar dan integrasi menjadi pengalaman nyata.”
Pekerjaan yang diberikan meliputi perawatan lanskap, pemeliharaan musim dingin, kebersihan, layanan pengantaran, hingga tugas sederhana di panti jompo dan perpustakaan.
- Pengungsi di bidang perawatan bekerja hingga 20 jam per minggu, sementara tugas komunitas lain hingga 30 jam per minggu.
- Upah yang diberikan adalah €1,60 per jam.
- Penolakan dua kali tanpa alasan sah akan menyebabkan hilangnya fasilitas seperti tempat tinggal layak dan asuransi kesehatan, digantikan hanya dengan kebutuhan pokok.
Kebijakan serupa sedang dikembangkan di negara bagian lain seperti Carinthia, menandakan tren baru di Austria.
Jerman: Antara Integrasi dan Pembatasan
Jerman telah lama memiliki instrumen legal untuk mewajibkan pengungsi melakukan kerja sosial, terutama bagi mereka yang permohonan suakanya ditolak. Mereka bisa diwajibkan bekerja hingga empat jam per hari dengan upah 80 sen euro per jam. Program ini mendapat dukungan luas masyarakat, dengan survei menunjukkan 82% responden menyetujui kebijakan tersebut.
Selain itu, Jerman menerapkan sistem kartu prabayar untuk pengungsi, membatasi penggunaan dana bantuan sosial hanya di wilayah tempat tinggal dan mencegah pengiriman uang ke luar negeri. Jika menolak bekerja, pengungsi bisa kehilangan sejumlah fasilitas seperti tempat tinggal dan tunjangan.
Integrasi atau Eksklusi? Dampak Sosial dan Ekonomi
Pendukung kebijakan ini berargumen bahwa pekerjaan wajib membantu pengungsi berintegrasi, membangun keterampilan, dan mengurangi beban fiskal negara. Christian Herrgott dari CDU Jerman menyatakan, “Kegiatan ini memberikan manfaat balik kepada para pembayar pajak Jerman.”
Namun, kritik juga bermunculan. Banyak pengungsi hanya bisa mengakses pekerjaan tingkat rendah, sementara lowongan di sektor tersebut terbatas. Selain itu, upah yang sangat rendah memicu perdebatan etis dan kekhawatiran akan eksploitasi. Organisasi hak asasi manusia menyoroti potensi pelanggaran hak-hak dasar pengungsi, terutama jika pekerjaan wajib dijadikan syarat mutlak untuk mendapatkan akses ke kebutuhan dasar.
Kebijakan Uni Eropa: Menuju Standar Bersama
Uni Eropa secara kolektif telah bergerak menuju pembagian tanggung jawab yang lebih merata melalui Pakta Migrasi dan Suaka yang baru. Pakta ini mengatur mekanisme penyaringan wajib di perbatasan, pembagian beban antarnegara anggota, dan memungkinkan negara yang menolak menerima pengungsi untuk memberikan kontribusi finansial sebagai kompensasi.
Presiden Parlemen Eropa, Roberta Metsola, menyebut pakta ini sebagai “tonggak bersejarah” yang menyeimbangkan solidaritas dan tanggung jawab antarnegara anggota.
Namun, implementasi di lapangan sangat bervariasi, tergantung pada kebijakan nasional dan tekanan politik domestik.
Studi Banding: Pengungsi Ukraina dan Standar Ganda
Menariknya, perlakuan terhadap pengungsi Ukraina berbeda. Uni Eropa memberikan akses lebih cepat ke pasar tenaga kerja, izin tinggal, dan perlindungan sosial yang lebih luas bagi warga Ukraina yang melarikan diri dari perang. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi dan keadilan dalam kebijakan pengungsi di Eropa.
Penutup: Tantangan dan Prospek ke Depan
Penerapan pekerjaan wajib bagi pengungsi di negara-negara Uni Eropa mencerminkan upaya menyeimbangkan kebutuhan integrasi dengan tekanan sosial-ekonomi domestik. Kebijakan ini menawarkan peluang bagi pengungsi untuk berkontribusi dan beradaptasi, namun juga membuka ruang perdebatan etis dan hak asasi manusia.
Ke depan, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada pelaksanaan yang adil, upah yang layak, dan dukungan integrasi yang menyeluruh—mulai dari pelatihan bahasa hingga perlindungan sosial. Uni Eropa dihadapkan pada pilihan sulit: menjaga solidaritas dan nilai-nilai kemanusiaan, atau menyerah pada tekanan populisme dan eksklusivitas. Satu hal pasti, kebijakan pekerjaan wajib bagi pengungsi akan terus menjadi isu sentral dalam diskursus migrasi dan integrasi Eropa di tahun-tahun mendatang.