Di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik, Uni Eropa (UE) kembali menjadi sorotan dunia. Kali ini, bukan karena ketegasannya, melainkan karena tuduhan “standar ganda” yang mencuat dalam penanganan dua konflik besar: invasi Rusia ke Ukraina dan agresi Israel di Gaza. Kritik tajam datang dari negara-negara anggota sendiri, terutama Spanyol dan Irlandia, yang menilai respons UE terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh Israel jauh lebih lunak dibandingkan sanksi keras yang dijatuhkan kepada Rusia. Isu ini bukan sekadar polemik internal, melainkan juga menguji konsistensi nilai-nilai yang selama ini diklaim UE sebagai fondasi kebijakan luar negerinya.

Respons UE: Antara Sanksi dan Kepentingan Ekonomi

Sanksi untuk Rusia: Ketegasan Tanpa Kompromi

Sejak Rusia menginvasi Ukraina pada 2022, UE telah memberlakukan 18 paket sanksi ekonomi, politik, dan diplomatik yang sangat luas. Sanksi ini mencakup pembekuan aset, larangan ekspor teknologi, serta pemutusan hubungan keuangan dan energi. Langkah-langkah tegas ini diambil dengan dalih membela kedaulatan Ukraina dan menegakkan hukum internasional, serta didukung hampir tanpa pengecualian oleh seluruh anggota UE.

Israel dan Gaza: Kritik Tajam, Tindakan Minimal

Sebaliknya, ketika laporan independen dan internal UE sendiri menunjukkan adanya indikasi kuat pelanggaran HAM oleh Israel di Gaza—mulai dari blokade bantuan kemanusiaan, serangan terhadap fasilitas medis, hingga korban sipil yang sangat besar—UE justru enggan mengambil langkah tegas. Meski ada opsi untuk menangguhkan perjanjian dagang senilai $50 miliar per tahun dengan Israel, mayoritas negara anggota menolaknya karena alasan ekonomi dan politik. Hanya Spanyol dan Irlandia yang secara terbuka mendesak penghentian penuh perjanjian tersebut, namun langkah ini memerlukan persetujuan bulat yang sulit dicapai.

Kritik Internal: Suara Keras dari Spanyol dan Irlandia

Perdana Menteri Spanyol, Pedro Sanchez, menjadi salah satu pengkritik paling vokal. Ia menyoroti fakta bahwa UE mampu bertindak cepat dan tegas terhadap Rusia, namun gagal menunjukkan ketegasan serupa terhadap Israel, meski laporan PBB dan organisasi HAM internasional menyebutkan situasi “katastrofik” di Gaza dengan puluhan ribu korban jiwa. Sanchez menegaskan, “Tidak masuk akal kita sudah menjatuhkan 18 paket sanksi kepada Rusia, tetapi tidak mampu menangguhkan perjanjian asosiasi dengan Israel, walaupun jelas-jelas melanggar Pasal 2 tentang HAM.”

Irlandia pun mengambil posisi serupa, menuntut konsistensi dalam penerapan prinsip-prinsip HAM dan hukum internasional. Namun, negara-negara besar seperti Jerman, Hungaria, dan Bulgaria tetap menjadi sekutu setia Israel, menolak segala bentuk sanksi yang bisa mengganggu hubungan dagang dan politik.

Pengakuan Standar Ganda: Dari Borrell hingga Dewan Eropa

Menariknya, pengakuan atas adanya standar ganda bukan hanya datang dari luar, melainkan juga dari dalam tubuh UE sendiri. Josep Borrell, Kepala Kebijakan Luar Negeri UE, secara terbuka mengakui adanya “hipokrisi” dalam penerapan hukum internasional. Ia bahkan menyebut, “Diplomasi adalah seni mengelola standar ganda. Namun, untuk bisa mengajak dunia mematuhi prinsip-prinsip tersebut, kita harus menunjukkan bahwa kita sendiri selalu menghormatinya. Apakah itu yang kita lakukan? Tidak sepenuhnya.”

Presiden Dewan Eropa, Charles Michel, menegaskan bahwa hukum internasional harus ditegakkan di mana pun, tanpa ambiguitas—baik di Ukraina, Timur Tengah, maupun konflik lain di dunia. “Tidak ada ruang untuk standar ganda,” tegasnya dalam sebuah konferensi tingkat tinggi di Swiss.

Studi Kasus: Perbandingan Sanksi dan Dampaknya

Kasus Tindakan UE Konsekuensi Ekonomi/Politik Reaksi Negara Anggota
Rusia-Ukraina 18 Paket Sanksi, isolasi ekonomi, embargo energi Dampak signifikan bagi Rusia dan Eropa Timur Dukungan hampir bulat
Israel-Gaza Kritik verbal, laporan HAM, tidak ada sanksi ekonomi Perdagangan tetap berjalan, tekanan politik rendah Terbelah, mayoritas menolak sanksi

Perbedaan mencolok ini menimbulkan pertanyaan besar tentang konsistensi UE dalam menegakkan nilai-nilai universal yang selama ini dijadikan dasar legitimasi kebijakan luar negeri mereka.

Faktor Penghambat: Ekonomi, Politik, dan Aliansi Strategis

Mengapa UE begitu tegas terhadap Rusia, namun lunak terhadap Israel? Jawabannya terletak pada kombinasi kepentingan ekonomi, tekanan politik internal, serta aliansi strategis. Israel adalah mitra dagang utama bagi banyak negara UE, terutama dalam sektor teknologi, pertahanan, dan riset. Selain itu, trauma sejarah Eropa terhadap Yahudi dan Holocaust membuat beberapa negara, seperti Jerman, sangat berhati-hati dalam mengambil langkah yang bisa dianggap anti-Israel.

Sementara itu, tekanan dari Amerika Serikat sebagai sekutu utama Israel juga berperan besar dalam membentuk kebijakan UE. Di sisi lain, Rusia dipandang sebagai ancaman langsung terhadap stabilitas Eropa, sehingga respons yang lebih keras menjadi pilihan logis dan politis.

Dampak Standar Ganda: Krisis Legitimasi dan Tudingan Hipokrisi

Konsistensi adalah kunci kredibilitas dalam diplomasi internasional. Ketika UE menerapkan standar berbeda untuk kasus yang serupa, muncul krisis legitimasi yang dapat dimanfaatkan oleh negara-negara seperti Rusia, Tiongkok, dan Iran untuk mendiskreditkan UE di mata dunia. “Jika kita menyebut sesuatu sebagai ‘kejahatan perang’ di satu tempat, kita harus menyebutnya sama di tempat lain,” tegas Borrell.

Selain itu, masyarakat global—terutama di negara-negara Global South—semakin skeptis terhadap retorika HAM dan demokrasi yang diusung UE. Hal ini berpotensi memperlemah posisi tawar UE dalam isu-isu global lain, seperti perubahan iklim, perdagangan bebas, dan tata kelola keamanan internasional.

Langkah ke Depan: Menuju Konsistensi dan Keadilan Global

  • Menyusun kebijakan sanksi dan hubungan luar negeri yang berbasis pada prinsip dan data, bukan kepentingan jangka pendek.
  • Mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan, khususnya terkait pelanggaran HAM oleh negara mitra.
  • Melibatkan lebih banyak negara anggota dalam diskusi terbuka tentang dampak standar ganda, serta mencari konsensus yang lebih luas untuk tindakan kolektif.
  • Mengedepankan diplomasi multilateral dan memperkuat kerja sama dengan PBB dan organisasi internasional independen untuk memantau pelanggaran HAM secara objektif.

Kesimpulan: Ujian Besar bagi Integritas Uni Eropa

Tuduhan standar ganda dalam kebijakan UE terhadap Rusia dan Israel adalah cerminan dilema mendasar yang dihadapi setiap kekuatan besar: antara prinsip dan pragmatisme. Jika UE ingin tetap relevan sebagai pelopor nilai-nilai universal, mereka harus berani menegakkan standar yang sama di mana pun pelanggaran terjadi—tanpa memandang siapa pelakunya. Hanya dengan cara inilah, UE dapat mengembalikan kepercayaan dunia dan memperkuat posisinya sebagai aktor global yang kredibel dan berintegritas.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *