
Mengupas Pernyataan Tegas Menlu Mozambik Segala yang Dicuri dari Afrika Harus Dikembalikan
Ketegasan di Tengah Ketidakadilan Global
Ketika Menteri Luar Negeri Mozambik, Verónica Macamo, dengan lantangnya berkata, “Segala sesuatu yang dicuri dari Afrika harus dikembalikan,” suara itu bukan sekadar retorika—ini jeritan yang lama terpendam dari benua yang kerap jadi korban eksploitasi global. Afrika, tanah kaya mineral, budaya, dan sejarah, telah lama jadi “lumbung” dunia. Narasi tentang pengambilan paksa sumber daya negeri ini memang bukan cerita baru, tapi pernyataan Macamo adalah alarm keras bagi para pelaku masa lalu dan masa kini.
Sejarah Panjang Eksploitasi
Membicarakan pencurian dari Afrika adalah menapaki lorong panjang kolonialisme dan imperialisme. Negara-negara Eropa berbondong-bondong datang, mengikis habis emas di Ghana, berlian di Afrika Selatan, dan gading di Kongo. Bahkan museum ternama di London dan Paris hari ini masih memamerkan artefak Afrika, hasil rampasan kolonial yang dibanggakan sebagai “warisan dunia”. Tahun lalu, Museum di Paris akhirnya memulangkan 26 artefak Benin, setelah tekanan global yang meningkat—sayangnya, ini hanyalah setetes di lautan barang yang digondol paksa selama berabad-abad.
Sosiolog asal Senegal, Felwine Sarr, pernah berkata kepada BBC: “Pengembalian karya seni Afrika bukan sekadar pemulihan benda, tapi juga pemulihan sejarah, harga diri, dan identitas yang telah dicabik-cabik.” Pernyataan ini merepresentasikan luka yang menahun pada wajah Afrika, yang justru sering diabaikan oleh masyarakat internasional.
Realita Pencurian Kekayaan Alam
Bukan hanya soal artefak budaya, tapi juga sumber daya. Menurut data Global Financial Integrity, antara 2000-2015, aliran dana gelap keluar dari Afrika mencapai sekitar $836 miliar. Sumber-sumber bocornya kekayaan ini bisa berwujud hasil tambang, kayu, hingga satwa langka, yang kebanyakan mengalir ke pasar negara-negara maju. Tak sedikit pula perusahaan multinasional yang, berbekal kelemahan hukum lokal, menguras habis nikel Mozambik atau minyak Nigeria, tanpa banyak sisa untuk penduduk aslinya.
Isu ini juga melekat pada perusahaan teknologi global. Kobalt, bahan baku utama baterai lithium untuk kendaraan listrik, banyak diambil dari Republik Demokratik Kongo. Ironisnya, pekerja lokal—banyak di antaranya anak-anak—kerap harus menanggung risiko kesehatan dan keselamatan demi “revolusi hijau” global yang katanya untuk masa depan lebih baik.
Studi Kasus: Mozambik dan “Curse of Resources”
Mozambik sendiri adalah laboratorium nyata dari problematika ini. Penemuan cadangan gas alam terbesar di dunia pada 2010 di basin Rovuma membawa harapan kemakmuran, namun juga ancaman eksploitasi. Alih-alih menyejahterakan rakyat, laporan Bank Dunia tahun 2022 menunjukkan 60% penduduk Mozambik masih hidup dalam kemiskinan ekstrem. Investasi asing mendatangkan keuntungan besar bagi segelintir elit dan perusahaan asing, sedang masyarakat lokal hanya jadi penonton.
“Kami tidak meminta lebih dari hak kami,” ucap Macamo dalam forum Uni Afrika tahun 2024. “Sumber daya, artefak, dan seluruh milik benua ini harus kembali ke tangan pemiliknya.” Pernyataan ini didukung pula oleh Ahli sejarah Universitas Cape Town, Dr. Lindiwe Makhunga, yang berpendapat, “Restitusi bukanlah semata urusan masa lalu, tapi tentang keadilan hari ini dan masa depan.”
Hambatan Restitusi dan Tantangan Diplomasi
Sayangnya, jalan menuju pengembalian—atau restitusi—tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak negara Eropa berdalih soal legalitas, menyebut artefak yang diambil dulu sudah jadi bagian warisan bersama. Sementara di sektor sumber daya alam, korporasi internasional kerap berlindung di balik perjanjian yang berat sebelah. Negara-negara Afrika butuh kekuatan diplomasi kolektif dan dukungan masyarakat internasional agar proses restitusi berjalan adil.
Mantan Presiden Nigeria, Olusegun Obasanjo, sempat mengingatkan, “Afrika perlu bersatu di meja perundingan, tidak lagi sebagai objek, tetapi subjek yang menentukan nasibnya sendiri.” Tanpa persatuan dan tekanan politik, pencurian dari Afrika hanya akan bertransformasi bentuk, bukan berhenti.
Ke Mana Harus Melangkah?
Bicara soal solusi, restitusi artefak dan kekayaan bukan cuma soal fisik, melainkan transformasi sistemik. Harus ada audit independen, transparansi perjanjian investasi, serta reformasi aturan perdagangan global. Negara-negara Afrika wajib memperkuat tata kelola, mendidik generasi penerus tentang nilai sumber daya, dan memperjuangkan posisi tawar lebih kuat di forum internasional.
Dunia perlu belajar dari kasus pengembalian artefak Benin yang sukses menorehkan preseden. Negara pemberi restitusi perlu membuka akses bagi penelitian bersama, serta mendukung museum-museum lokal dalam memelihara peninggalan mereka.
Menyongsong Kebangkitan Afrika Baru
Pernyataan tegas Menlu Mozambik adalah momentum untuk membuka mata dunia: sudah saatnya menghentikan plagiarisme sejarah dan sumber daya. Ini pertarungan panjang antara yang pernah dirampas dan yang berhak menerima kembali. Jika narasi restitusi ini diperkuat oleh masyarakat internasional, masa depan Afrika tidak akan lagi sekadar jadi catatan kaki dalam buku sejarah dunia.
Artikel ini disponsori oleh rekomendasi game online terbaru di Dahlia77. Temukan informasi lengkap tentang game, bonus, dan komunitas urban melalui Dahlia77