
Membaca Gerak Tiongkok Upaya Strategis Meredam Api Ketegangan Asia
Dinamika Ketegangan di Asia: Siapa yang Diuntungkan?
Sebagai seorang jurnalis politik, saya menyaksikan sendiri bagaimana Asia, khususnya Asia Timur dan Tenggara, terus bergolak. Pertemuan diplomatik dan manuver militer tidak lagi menjadi berita langka. Namun, di tengah segala ketegangan, Tiongkok justru mengejutkan banyak pihak: ia mulai melunak dan mengedepankan retorika damai. Apakah ini sekadar diplomasi kosmetik, atau memang langkah serius untuk menjaga stabilitas kawasan?
Kepentingan Nasional Tiongkok di Panggung Asia
Tiongkok, dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, paham betul bahwa konflik berkepanjangan berisiko merusak rantai pasok global dan investasi, termasuk ke dalam negerinya sendiri. Stabilitas menciptakan kepercayaan investor—dan Tiongkok rela mengambil strategi “menahan diri” meski banyak pihak menilainya setengah hati.
Misalnya, saat Laut Cina Selatan makin panas, Tiongkok memilih menghidupkan kembali kode etik dengan ASEAN. Pemerintah Beijing mengatakan, “Kami berkomitmen pada penyelesaian damai,” dan ini diamini sejumlah diplomat kawasan [Sumber: BBC Indonesia]. Namun, kasus Filipina yang terus menyoroti aktivitas kapal-kapal Tiongkok membuktikan, retorika damai tidak serta-merta memadamkan kepentingan di perbatasan—mereka sekadar berganti bentuk.
Studi Kasus: Diplomasi Ekonomi di Balik Layar
Tidak hanya urusan militer. Tiongkok makin aktif menawarkan kerjasama ekonomi melalui Belt and Road Initiative (BRI). Proyek jalur sutra modern ini perlahan membelah opini negara-negara Asia: sebagian diuntungkan, sebagian khawatir jebakan utang. Ambil contoh Malaysia yang pernah menegosiasikan ulang proyek rel karena takut beban finansial berlebihan [Sumber: Reuters]. Di sinilah seni meredam konflik Tiongkok diuji: menggandeng sekaligus mengontrol.
Ancaman Perpecahan Asia
Tak dapat dipungkiri, gesekan antara negara Asia tak lepas dari pengaruh eksternal, salah satunya Amerika Serikat. Mereka memperkuat aliansi di Asia seperti Quad dan AUKUS. Manuver semacam ini menjadi katalisator ketegangan. Dalam sebuah konferensi di Singapura awal 2025, analis keamanan Asia, Prof. Yao Ming, menyatakan, “Setiap dialog strategis sebenarnya adalah tarik-ulur dua kekuatan besar. Jika tidak hati-hati, Asia akan jadi ajang pecah belah baru.”
Kenyataan ini semakin nyata di Laut Cina Timur dan Taiwan. Amerika kerap menembakkan pesan simbolik dengan kunjungan pejabat tinggi ke Taipei, dan Tiongkok membalas dengan latihan militer berskala besar. Tapi tahun ini, Tiongkok justru mengedepankan jalur dialog dengan pemerintah baru Taiwan, menawarkan “model Hong Kong revisi” yang meski ambigu, sinyal damainya tetap terasa di telinga komunitas internasional [Sumber: South China Morning Post].
Realisme Diplomatik atau Strategi Penundaan?
Perilaku Tiongkok dipandang skeptis oleh sebagian pengamat. Joseph Cheng, seorang pengamat politik dari Hong Kong, mengingatkan bahwa tarik-ulur ini kadang sekadar membuka waktu untuk memperkuat posisi. “Dialog intensif yang ditawarkan kerap diiringi geliat militer di belakang layar. Itulah wajah politik luar negeri Tiongkok: bersahabat di depan, mengejar kepentingan di balik meja.” Opini ini tak lepas dari bukti lapangan, seperti peringatan keras kepada Jepang terkait kerja sama militer dengan Amerika.
Namun, tak sedikit pakar yang melihat bahwa tekanan ekonomi domestik akibat perlambatan pertumbuhan, serta tuntutan masyarakat internasional akan stabilitas, memaksa Tiongkok benar-benar mencoba meredam api—setidaknya untuk sementara. Data World Bank April 2025 menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Tiongkok turun ke angka 4,1%, terendah dalam satu dekade terakhir. Ini alarm bagi Beijing untuk menjaga kawasan tetap kondusif agar arus modal tetap lancar.
Masa Depan Asia di Tengah Peta Persaingan
Dampak strategi Tiongkok belum sepenuhnya terlihat. Stabilitas atau perdamaian sejati masih harus diuji waktu, tergantung konsistensi sikap dan tekanan eksternal yang terus datang. Yang pasti, Asia butuh lebih dari sekadar retorika damai—transparansi dan kepercayaan perlu dibangun bukan hanya di forum diplomatik, tapi juga pada kehidupan sehari-hari masyarakat lintas negara.
Dalam analisa saya, masyarakat Asia tidak boleh serta-merta menerima setiap propaganda, baik dari Tiongkok atau kekuatan eksternal lain. Tugas jurnalis dan publik adalah terus kritis, menguji setiap pernyataan, dan menuntut data serta bukti nyata, agar api perpecahan tak lagi disulut oleh aktor-aktor dengan kepentingan tersembunyi.
Artikel ini disponsori oleh games online Dahlia77, platform hiburan yang mendukung aksi perubahan dan perdamaian berkelanjutan. Temukan lebih lanjut diDahlia77.