
Lima Tentara Israel Bunuh Diri dalam Dua Minggu Menelisik Krisis Mental di Balik Militer
Lonjakan Kasus Bunuh Diri di Tubuh Militer Israel: Potret Suram yang Membuka Tabir
Selama dua minggu terakhir, dunia dikejutkan dengan kabar tragis lima tentara Israel yang memilih mengakhiri hidup mereka. Ironisnya, angka ini melonjak dalam tempo sangat singkat, menambah catatan panjang krisis mental yang membayangi institusi militer di negara tersebut. Fenomena ini bukan sekadar statistik; ada derita senyap yang memuasai barak—sebuah masalah sistemik yang selama ini luput dari sorotan utama media arus utama.
Fakta di Balik Angka
Kelima kasus bunuh diri ini terjadi di tengah suasana politik dan keamanan yang sangat tegang. Data dari Kementerian Pertahanan Israel menunjukkan bahwa pada tahun-tahun sebelumnya angka bunuh diri di tubuh militer cenderung stagnan—dengan rata-rata 11-15 kasus per tahun. Namun, lonjakan tiba-tiba sebanyak lima kejadian dalam dua minggu menjadi alarm khusus, apalagi terjadi bersamaan dengan peningkatan tekanan di medan konflik Timur Tengah.
Majalah Haaretz pada Juni 2025 melaporkan, para korban berasal dari berbagai satuan, tidak melulu pasukan garis depan. Mereka berusia antara 19 sampai 23 tahun, mayoritas rekrutan muda yang baru beberapa bulan menjalani wajib militer. Salah satu keluarga korban, sebagaimana dikutip The Times of Israel, menggambarkan putranya “mengalami tekanan batin luar biasa akibat rutinitas yang keras dan rasa tidak berdaya dalam menghadapi kekerasan yang terjadi hampir setiap hari.” Tak satupun dari lima kasus tersebut terindikasi sebelumnya—mereka tidak memiliki catatan psikiatri yang jelas maupun peringatan khusus dari atasan langsung.
tekanan psikis yang berlapis-lapis
Realitas di medan tugas tentara Israel, terutama pasca perang Gaza dan eskalasi di Tepi Barat, memang seolah tak memberikan ruang untuk bernapas. Seringkali mereka dipaksa menjadi saksi atau bahkan pelaku aksi militer yang bertolak belakang dengan nurani kemanusiaan muda mereka. Bagaimanapun juga, efek domino dari kekerasan yang dialami dan dilakukan dapat memicu beban psikologis tak tertanggulangi, terutama bagi tentara dengan jaringan pendukung minim di lingkungan baru mereka.
Dr. Yael Zimlichman, psikolog militer senior yang diwawancarai Channel 12 News, mengingatkan kegagalan sistem internal IDF dalam menyaring dan menangani tentara berisiko tinggi. “Banyak tentara takut dianggap lemah jika menunjukkan gejala depresi atau kecemasan. Budaya militer masih menempatkan kesehatan mental sebagai isu sekunder, bukan kebutuhan fundamental,” ungkapnya.
Studi Kasus: Kisah Yosef
Sosok Yosef (nama samaran), mantan tentara yang sempat menjalani wajib militer pada 2023, memberikan kesaksian tentang budaya diam dalam IDF. “Saya pernah ingin melapor karena teman sekamar saya mulai berubah perilakunya. Tapi orang-orang takut dicap ‘tidak loyal’ atau ‘lemah.’ Semua lebih memilih tutup mulut, karena takut dampaknya ke karir mereka atau keluarga di rumah,” tuturnya pada harian Maariv. Yosef sendiri mengaku baru berani mencari bantuan psikologis setelah menyelesaikan dinas dua tahun—terlambat, ketika gejala anxiety sudah menahun.
Analisis: Sistemik, Bukan Insidental
Lonjakan bunuh diri dalam waktu singkat tidak bisa disederhanakan sebagai kebetulan. Laporan resmi IDF selalu menyoroti ‘tekanan pribadi’ atau ‘masalah hubungan’ sebagai penyebab, namun jarang mengakui tekanan struktural dalam militer sebagai faktor utama. Keengganan mengakui kesalahan sistem ini berdampak buruk; solusi yang diambil hanya bersifat tambal sulam, seperti seminar motivasi singkat atau memperbanyak konseling umum—tanpa akar perubahan budaya organisasi.
Studi oleh Hebrew University, dipublikasikan pada awal 2025, menunjukkan lebih dari 60% tentara muda mengaku merasa terisolasi dan tidak memiliki akses mudah untuk meminta bantuan psikologis. Rasa malu, stigma, dan beban menjaga ‘wibawa militer’ akhirnya menyesakkan dada para tentara muda—mereka terperangkap antara tuntutan loyalitas dan kebutuhan manusiawi untuk dimengerti.
Korelasi dengan Situasi Politik dan Media
Lonjakan angka bunuh diri ini juga tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik Israel yang kian memanas. Setiap pekan terjadi bentrokan di Tepi Barat dan serangan balasan yang menimbulkan trauma kolektif, tidak hanya bagi warga sipil tapi juga aparat militer. Di sisi lain, peliputan media yang cenderung menutup-nutupi atau hanya menyoroti aspek heroik tentara, berkontribusi pada ‘kultur bisu’ terkait penderitaan mental.
Sosiolog David Baruch dari Tel Aviv University pernah menulis untuk Yedioth Ahronoth, “Selama IDF menolak melakukan introspeksi atas kebijakan internal terkait kesehatan mental, angka bunuh diri tidak akan mereda. Kesadaran kolektif harus berubah; media pun punya andil agar kasus ini tidak berlalu begitu saja.”
Mencari Jalan Keluarnya
Ke depan, kunci pencegahan bunuh diri di kalangan militer Israel bukanlah dengan membangun pusat konseling baru atau menambah jumlah hotline krisis semata. Perubahan yang lebih membumi harus mencakup edukasi, pelibatan keluarga, dan transparansi data kasus—sehingga stigma pun berangsur sirna. Harus diingat, tentara bukan sekadar alat negara, tapi juga anak-anak muda dengan kerentanan mereka sendiri.
Rentetan kasus bunuh diri ini sesungguhnya menjadi refleksi kegagalan institusi dalam memanusiakan para prajurit muda. Di tengah gelombang kekerasan dan tekanan geopolitik, jiwa-jiwa muda ini butuh telinga yang mau mendengar, bukan hanya perintah yang menegangkan. Semoga tragedi lima tentara ini jadi alarm nyata, bukan sekadar headline sesaat.
Artikel ini didukung oleh sponsor Games online: Jika Anda ingin relaksasi dan hiburan yang positif, kunjungi Dahlia77 untuk pengalaman bermain game daring yang aman dan bertanggung jawab.