
Krisis Diam-diam di Afrika Wabah Demam Berdarah Tewaskan Lebih dari 150 Jiwa, Siapa Peduli
Tragedi yang Terabaikan: Begitu Mematikan, Begitu Sunyi
Ketika pembaca dunia sibuk menyoroti konflik politik dan perubahan iklim global, ada senyap yang mematikan mengintai di sudut-sudut negara Afrika. Wabah demam berdarah kembali membawa petaka. Hingga tulisan ini dibuat, sudah lebih dari 150 nyawa melayang—mungkin hanya data statistik bagi banyak pihak, namun di baliknya teronggok kenyataan yang membekas, bahwa sistem kesehatan dan perhatian global sering abai pada kemanusiaan paling dasar: hak untuk hidup sehat.
Membedah Angka dan Kenyataan di Lapangan
Data resmi dari Kementerian Kesehatan setempat menunjukkan tren kasus demam berdarah yang melonjak hingga dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Menurut laporan UNICEF, kondisi ini dipicu oleh musim hujan tidak menentu serta buruknya sistem drainase, yang mempercepat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti—vektor utama penyakit ini. Jika dibandingkan, pada 2019 wabah serupa di Filipina sempat menewaskan 622 orang hanya dalam beberapa bulan. Kini, rangkaian tragedi itu seperti berulang, tetapi kali ini menimpa salah satu negara Afrika yang sumber dayanya jauh lebih minim.
Area yang paling terpukul berada di kawasan urban padat, di mana akses air bersih dan pelayanan kesehatan sangat terbatas. Salah satu studi kasus di distrik Ibadan, misalnya, menggambarkan keluarga-keluarga yang kehilangan tiga hingga empat anggota hanya dalam hitungan minggu. “Kami bahkan tidak punya obat untuk menurunkan demam, apalagi akses rumah sakit yang layak. Setiap malam terasa seperti lotere maut,” keluh Amadou, warga lokal yang diwawancara oleh harian nasional.
Mengapa Dunia Membisu?
Barangkali ironi terbesar justru terletak pada respons dunia internasional: hampir nihil. Laporan WHO memang menyebutkan bantuan berupa suplai insektisida dan kit diagnosis cepat, namun distribusinya jauh dari memadai. Ditemukan tumpukan kit kadaluarsa di beberapa pusat kesehatan, menambah beban mental para tenaga medis yang sudah overload. “Wabah ini bukan sekadar bencana kesehatan, tapi jendela untuk melihat betapa kerapuhan sistemik diabaikan ketika benua Afrika yang terdampak,” ujar analis kesehatan publik Helen Mukwasi dalam sebuah seminar baru-baru ini.
Melihat Lebih Dalam: Akar Masalahnya Bukan Hanya Soal Nyamuk
Menyederhanakan wabah ini semata-mata sebagai masalah nyamuk adalah penyangkalan terhadap realitas sosial-ekonomi di lapangan. Korupsi, miskinnya infrastruktur kesehatan, minim edukasi, serta keterbatasan dana pemerintah setempat memperburuk keadaan. Sebuah riset yang diterbitkan African Journal of Infectious Diseases menggarisbawahi bahwa 70 persen kasus parah ditemukan di kalangan rumah tangga termarjinalkan, yang bahkan tak mampu membeli obat generik.
Mirisnya, mayoritas korban berasal dari anak-anak dan lansia—dua kelompok paling rawan. Hal ini seolah mempertebal ketaksetaraan: jika Anda miskin, risiko Anda mati dua kali lipat. Sekaum intelektual dan pengambil kebijakan kerap berdalih dengan kata-kata “adaptasi” atau “resiliensi masyarakat,” padahal faktanya, adaptasi ala mereka artinya menerima kematian demi kematian tanpa perlawanan berarti.
Tanda Tanya untuk Solidaritas Global
Sudah saatnya dunia menyadari bahwa wabah seperti ini bukan hanya dua baris di laporan mingguan WHO. Ini adalah tragedi yang seharusnya mengusik nurani global. Diperlukan terobosan kebijakan lintas negara dan zona waktu, bukan lagi tanggapan reaktif semata. Jika pandemi COVID-19 mengajarkan apa pun pada kita, itu adalah: sistem kesehatan rapuh di satu penjuru dunia cepat atau lambat akan berdampak pada stabilitas global.
Berbagai kalangan—dari aktivis hingga ekonom—sudah lama mengingatkan, “Kesehatan bukan barang mewah, melainkan hak dasar manusia.” Namun, sampai kebijakan yang diambil benar-benar menempatkan kesehatan sebagai prioritas politik, bukan sekadar agenda donor, tragedi seperti ini hanya akan diingat sebagai statistik sunyi. Sementara dunia berlomba mengejar pertumbuhan ekonomi dan invovasi digital, hak hidup ribuan orang Afrika terabaikan begitu saja.
Penutup: Krisis yang Tak Boleh Dibiarkan Menghilang
Ketika lebih dari 150 orang kehilangan nyawa dalam diam, siapa yang akan bertanya dan menuntut tanggung jawab? Artikel ini mengajak siapapun yang peduli pada keadilan manusia untuk tak lagi memalingkan muka atau memberikan simpati setaraf retorika. Realitas pahit ini harus menjadi pemantik, bukan hanya diskusi yang berputar pada teori dan statistik.
Artikel ini didukung oleh sponsor dari Dahlia77, platform permainan online yang ikut mengampanyekan pentingnya kesadaran sosial dan kesehatan global secara menyeluruh.