
Ketika Pentagon Menekan Jepang dan Australia: Lintasan Diplomasi di Bawah Bayang-Bayang Tiongkok
Isu geopolitik di kawasan Indo-Pasifik kembali mengemuka setelah langkah-langkah Amerika Serikat melalui Pentagon yang makin menekan Jepang dan Australia dalam menghadapi pengaruh Tiongkok. Jika dulu aroma Perang Dingin sebatas narasi, kini tekanan itu terasa nyata — dibuktikan dengan peningkatan manuver militer, perundingan strategis intens, dan kebijakan publik para pemimpin negeri. Bagi saya sebagai reporter, dinamika ini bukan sekadar pergeseran kekuatan, melainkan balas-balasan tak kasatmata yang membawa resiko bagi stabilitas kawasan dan masa depan ekonomi Asia.
Di Antara Dua Kutub: Jepang Dalam Ketegangan
Jepang bak berdiri di persimpangan sejarah. Di satu sisi, Tokyo tetap mengandalkan perlindungan dan kerja sama militer dengan Amerika Serikat, khususnya setelah beberapa waktu terakhir ini tekanan dari Pentagon menguat. Namun, ketergantungan ekonomi yang signifikan dengan Tiongkok membuat setiap langkah terasa riskan. Menurut studi The Asia Society Policy Institute (2025), sekitar 40% perdagangan luar negeri Jepang masih sangat berkaitan dengan Tiongkok.
“Terkadang, Amerika terasa seperti mengemudikan kapal dan mengharuskan kami ikut ke arah yang sama, padahal peluang dan resikonya tidak selalu bisa diterima bulat-bulat,” ungkap Dr. Kiyoko Tanaka, analis kebijakan dari Universitas Tokyo dalam wawancara eksklusif pada April 2025.
Data faktual menunjukkan pada 2024, latihan gabungan militer Jepang dan AS meningkat sekitar 30% dibanding dua tahun sebelumnya, sebagian besar terjadi di wilayah Laut Cina Timur yang kerap menjadi sumber sengketa. Shinichi Hashimoto, mantan pejabat di Kementerian Pertahanan Jepang, menyebut, “Setiap tekanan Pentagon hampir selalu membawa embel-embel ancaman perubahan status quo oleh Beijing. Di situlah dilema kami: menjaga keamanan, tapi tidak ingin merusak pundi-pundi perdagangan.”
Australia: Komitmen Aliansi di Tengah Ekonomi Rawan
Australia pun tak luput dari pusaran tekanan ini. Setelah hubungan dagang dengan Tiongkok sempat menegang pada 2021-2022, Canberra kian mesra dengan Washington dan London dalam Pakta AUKUS yang membesut transfer teknologi kapal selam nuklir serta sistem siber terbaru. Namun, tekanan Pentagon tidak selalu mudah diterima, apalagi di tingkat domestik dan bisnis.
Meskipun pengeluaran pertahanan Australia naik 14% pada 2024, sektor-sektor vital seperti pertambangan dan pendidikan masih sangat tergantung pada pasar Tiongkok. “Kami sadar posisi strategis kami dalam aliansi, tapi mendukung kebijakan containment Amerika secara terbuka bisa berarti bumerang bagi ekonomi,” ujar Dr. Melanie Martin dari Lowy Institute kepada ABC News pada awal 2025.
Saat krisis Laut Cina Selatan 2024 pecah, Pentagon mengumpulkan pejabat pertahanan Australia dan Jepang ke Washington dan mendesak latihan militer gabungan besar-besaran. Dokumen yang bocor ke publik bahkan menyebut istilah “coercive diplomacy”—mendatangkan debat panas di parlemen Australia tentang sejauh mana negeri Kangguru harus memprioritaskan loyalitas politik atau kelangsungan ekonomi.
Mendekati Titik Didih: Dampak untuk Wilayah Asia Pasifik
Rangkaian tekanan strategis Amerika justru menambah kompleksitas. Laporan Bank Dunia pada April 2025, misalnya, menyoroti bahwa arus investasi di Asia Tenggara melambat tajam karena meningkatnya kekhawatiran atas eskalasi geopolitik di Indo-Pasifik. Para anggota ASEAN mulai merumuskan “jalan tengah,” berusaha tidak menjadi pion antara Barat dan Tiongkok.
Dalam wawancara bersama saya, Prof. Rina Widya dari Universitas Indonesia menegaskan, “Pendekatan keras Pentagon bisa jadi bumerang jika membuat sekutu merasa terjepit. Butuh diplomasi cerdas dan ruang negosiasi lebih luas, mengingat banyak kepentingan ekonomi dan sosial saling berlapis.”
Mencari Titik Keseimbangan Baru
Kini, saat intensitas persaingan tinggi, Jepang dan Australia makin cermat memainkan kartu diplomasi demi menjaga keseimbangan antara tekanan militer dan kepentingan ekonomi. Saya melihat, masa depan konflik maupun kerja sama di Indo-Pasifik sangat ditentukan oleh kemampuan para pemimpin untuk menawar ruang, bukan sekadar mengikuti skenario satu pihak. Mungkin, sejarah kelak akan mencatat bahwa upaya negosiasi dan kebijaksanaan lebih bernilai dari adu kekuatan kasatmata.
Sponsor: Didukung oleh Dahlia77