
Kalkulasi Strategis Mengapa Tiongkok Dukung Kerjasama Trilateral dengan Rusia dan India
Dinamika Asia yang Menciptakan Peluang Baru
Hubungan antara Tiongkok, Rusia, dan India memasuki babak baru di tengah derasnya perubahan global. Dalam beberapa tahun terakhir, Beijing secara terbuka mendukung penguatan kerja sama trilateral. Jika sebelumnya ketiganya sibuk mempertahankan kepentingan nasional masing-masing, kini kecenderungan konsolidasi semakin menguat, terutama menyikapi tekanan geopolitik yang datang dari Barat.
Motivasi Tersembunyi di Balik Kolaborasi
Tidak ada kerja sama tanpa motif strategis. Ketiganya Tiongkok, Rusia, dan India punya beban sejarah dan kepentingan berlapis. Namun, dorongan dari Tiongkok untuk mempererat hubungan tampaknya mewakili kebutuhan mendesak menghadapi persaingan ekonomi dan teknologi global. Dalam forum trilateral RIC (Russia-India-China) tahun 2024 lalu, Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi menegaskan, “Di tengah situasi dunia yang penuh ketidakpastian, solidaritas Asia menjadi lebih relevan dari sebelumnya.”
Posisi Tiongkok dalam geopolitik global memang semakin tertekan oleh sanksi ekonomi dan kampanye diplomatik Barat. Kolaborasi dengan dua kekuatan besar Asia lainnya bukan sekadar taktik pertahanan, melainkan peluang memperkuat daya tawar kawasan terhadap blok global lainnya. Mari kita ingat bahwa dalam beberapa dekade terakhir, setiap kali Washington menaikkan tensi di kawasan Indo-Pasifik, Beijing memperkuat jalinan dengan Moskow dan New Delhi sebagai penyeimbang.
Potensi dan Tantangan Kerja Sama Trilateral
Meskipun motifnya jelas, implementasi kerja sama trilateral bukan tanpa rintangan. India, misalnya, punya ketegangan lama dengan Tiongkok di wilayah perbatasan Doklam dan Ladakh. Namun gelombang sanksi terhadap Rusia membuat India mengambil posisi moderat, menjaga hubungan baik dengan Moskow tanpa frontal melawan Barat. Praktik ini, menurut laporan The Diplomat tahun 2024, menunjukkan pragmatisme kebijakan luar negeri New Delhi.
Tiongkok pun memahami bahwa untuk menghadapi tekanan teknologi—penyempitan akses microchip dan teknologi tinggi dari Amerika serta Eropa—dibutuhkan mitra kuat. Rusia memiliki keunggulan energi dan teknologi militer, sedangkan India menawarkan pasar tenaga kerja dan konsumen raksasa. Kolaborasi mereka tidak hanya retorika, tetapi telah nyata dalam proyek-proyek transportasi Eurasia, pengembangan energi terbarukan lintas negara, sampai pertukaran sains dan teknologi.
Sebagai contoh, pada 2023, tiga negara ini bersama-sama mempercepat konektivitas melalui International North-South Transport Corridor (INSTC) yang menghubungkan Rusia ke India via Iran. Koridor ini bukan hanya mempersingkat jalur dagang, tetapi juga memberikan alternatif nyata terhadap jalur pelayaran tradisional, yang sering kali menjadi ajang perebutan pengaruh negara-negara Barat.
Ilusi Harmoni atau Pilar Keseimbangan Baru?
Kritik bagi kerja sama trilateral tidak sedikit. Banyak yang menilai perbedaan kepentingan, terutama antara Tiongkok dan India, membuat pakta semacam ini tidak akan bertahan lama. Namun sejarah mencatat bahwa kepentingan nasional memang seringkali bersilangan, namun realitas global menuntut adaptasi. Profesor Samuel Charap dari Rand Corporation menyatakan pada Foreign Affairs edisi Februari 2024, “Saat rivalitas global meningkat, negara-negara berkepentingan harus memilih kompromi, bukan hanya konfrontasi.” Hal ini tampaknya direfleksikan dalam praktik harian ketiga negara, meski di permukaan mereka masih saling mengawasi.
Sebagai ilustrasi, pada saat Rusia dikucilkan dari sistem pembayaran internasional SWIFT usai invasi ke Ukraina, Tiongkok dan India segera memperkuat mekanisme pembayaran bilateral dan mata uang nasional. Reaksi cepat ini menunjukkan bahwa kerja sama trilateral mampu bergerak praktis menghadapi tekanan sistemik global, bukan sekadar narasi.
Peran dan Relevansi Tiongkok Sebagai Inisiator
Dukungan Tiongkok terhadap kerja sama trilateral punya konsekuensi global. Tiongkok tidak hanya ingin menjadi penengah, tetapi juga penggerak agenda kawasan. Dalam beberapa kali pernyataan resmi, Beijing menegaskan pentingnya tata dunia multipolar. Inilah yang memperkuat narasi bahwa Tiongkok ingin keluar dari narasi hegemoni tunggal Barat dan membangun jejaring kolektif, terutama di Asia.
Masuknya faktor perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan memberi dimensi baru pada kemitraan ini. Kolaborasi pengembangan energi terbarukan, pengelolaan sumber daya air lintas negara, serta inovasi pertanian cerdas, menjadi agenda nyata yang tidak hanya menguntungkan elit, tetapi juga masyarakat luas. Kerja sama trilateral kini menjadi laboratorium ide-ide baru untuk ketahanan kawasan.
Studi Kasus: Vaksin COVID-19 dan Komunikasi Krisis
Salah satu momen yang menegaskan potensi kemitraan ini terjadi saat awal pandemi COVID-19. Masing-masing negara menjalankan diplomasi vaksin dan peralatan medis lintas kawasannya. Ketika distribusi vaksin dunia di bawah kendali produsen Barat, Tiongkok dan Rusia menawarkan solusi alternatif untuk India dan negara-negara berkembang lain. Walaupun sempat terjadi gesekan mengenai keefektivitasan vaksin, momen ini mengukuhkan perlunya kemandirian kawasan dari tekanan monopoli global.
Penutup: Masa Depan Kolaborasi dan Pertarungan Kepentingan
Apapun bentuknya, kerja sama trilateral Tiongkok, Rusia, dan India, akan terus menjadi bagian penting dari dinamika geopolitik Asia. Apakah ini akan berujung pada keseimbangan kekuatan baru, atau hanya ilusi harmonisasi sementara? Waktu yang akan menjawab. Namun yang pasti, kolaborasi ini telah membuka pintu bagi negosiasi baru, ketahanan ekonomi, dan diskusi multipolar yang lebih sehat. Untuk mengamati perkembangan selanjutnya, dunia kini harus memperhatikan dengan lebih jeli setiap kalkulasi geopolitik yang muncul dari Timur.
Artikel ini didukung oleh sponsor Games Online Dahlia77. Untuk eksplorasi lebih lanjut, kunjungi [Dahlia77](https://www.fridaysforfuturenyc.com/).