
Diplomasi di Persimpangan Dinamika Putin dan Erdogan Bahas Ukraina dan Suriah
Rusia dan Turki: Aliansi Sulit di Tengah Konflik Panas
Pada Juli 2025, perhatian dunia tertuju pada pertemuan Vladimir Putin dan Recep Tayyip Erdogan, dua pemimpin dengan reputasi keras kepala, di tengah lanskap geopolitik yang terus bergolak. Ukraina dan Suriah, dua front terpanas dalam politik luar negeri masing-masing negara, menjadi agenda utama dalam pembicaraan mereka. Pertemuan ini sesungguhnya bukan sekadar seremoni diplomatik, melainkan medan tarung kepercayaan, negosiasi, sekaligus ujian hubungan dua negara yang penuh intrik dan kepentingan silih berganti.
Ukraina: Titik Panas yang Membelah Pandangan Global
Tak berlebihan jika disebut Ukraina adalah “meja roulette” bagi kalkulasi strategi Moskow dan Ankara. Rusia, yang masih menghadapi sanksi parah dan tekanan internasional akibat perang yang berkepanjangan, berusaha mempertahankan pengaruh sekaligus mencari jalan keluar politik. Adapun Turki memainkan diplomasi dua kaki: anggota NATO sekaligus mitra energi dan pertahanan Rusia.
Kebijakan Erdogan yang kerap zig-zag, seperti memasok drone Bayraktar ke Ukraina namun tetap menjaga hubungan dagang dengan Kremlin, membuat peran Turki unik sekaligus rentan. “Turki bukan sekutu Barat yang patuh, juga bukan tangan kanan Rusia; mereka adalah pemburu peluang di tengah badai,” ujar Michael Tanchum, analis geopolitik di Austrian Institute for European and Security Policy.
Pembicaraan terakhir menyoroti isu ekspor biji-bijian Laut Hitam, perlindungan hak minoritas Tatar Krimea, hingga kelanjutan peran Turki sebagai mediator. Namun realitanya, upaya perdamaian berjalan di titian rapuh. Pada bulan lalu, Kremlin mengancam akan mundur dari perjanjian ekspor jika syarat mereka tidak dipenuhi, sementara Turki berusaha menengahi tanpa kehilangan muka di hadapan sekutu NATO.
Suriah: Arena Perebutan Pengaruh dan Tarik Ulur Kepentingan
Negosiasi Suriah—lebih tepatnya, zona perbatasan utara—menjadi cermin betapa rumitnya hubungan kedua negara ini. Rusia adalah pelindung utama rezim Bashar al-Assad, sementara Turki mendukung faksi oposisi dan ingin mencegah negara Kurdi berdikari di utara Suriah. Pada titik ini, perang proksi, serangan udara terbaru ke Idlib, dan dinamika kelompok bersenjata membuat diplomasi terasa seperti menjaga api lilin di tengah topan.
“Banyak perjanjian de-eskalasi hanya bertahan di atas kertas, di lapangan realitasnya amat berbeda,” kata Ilham Ahmad, pemimpin Dewan Demokratik Suriah. Rusia ingin memperkuat posisi Assad, mengamankan pangkalan militernya di Tartus dan Latakia, sementara Turki mengincar zona aman bagi pengungsi sekaligus menahan milisi Kurdi YPG.
Studi terbaru dari International Crisis Group mencatat, zona de-eskalasi gagal mencegah gelombang baru pengungsi ke wilayah perbatasan Turki. Hal ini memicu Erdogan meningkatkan ancaman intervensi militer secara unilateral, sementara Putin mengingatkan tentang konsensus Astana yang makin lemah.
Retorika, Realpolitik, dan Bayangan Perang Dingin Baru
Kedua pemimpin menggunakan retorika “kerja sama strategis” dalam setiap konferensi pers, namun di lapangan, hubungan mereka seperti permainan catur dalam kabut. Satu aksi balasan bisa memicu reaksi berantai di wilayah yang tak stabil itu. Misalnya, ketika Turki mengumumkan secara sepihak akan membuka jalur perdagangan baru dengan Ukraina, hal tersebut diikuti dengan latihan militer gabungan Rusia-Suriah di dekat Idlib.
Seorang diplomat senior Uni Eropa yang meminta anonimitas menyebutkan, “Erdogan tahu nilai tawarnya di tengah ketidakpastian global hari ini. Turki ingin tetap relevan, sekalipun harus menyeimbangkan di atas jurang.”
Contoh nyata lain adalah negosiasi ekspor gas alam Rusia ke Turki. Meski sanksi Barat membayangi, kedua negara tetap menjaga saluran pipa utama mereka tetap lancar. Data terbaru dari Gazprom menunjukkan peningkatan ekspor gas ke Turki sebesar 11% sepanjang semester pertama 2025, meski Eropa memotong sebagian besar pasokan energi dari Rusia.
Cara Berpikir Baru dalam Diplomasi: Mediasi atau Mencari Untung?
Yang patut digarisbawahi adalah gaya “unorthodox” Erdogan dalam berpolitik luar negeri, yang cenderung fleksibel dan kadang kontradiktif. Di satu sisi, ia mendorong inisiatif perdamaian; di sisi lain, tetap bersikukuh pada kepentingan domestik dan cita-cita regional Turki.
Putin juga demikian: ia sadar bahwa hubungan dengan Turki adalah instrumen untuk mereduksi isolasi politiknya di dunia internasional, sembari tetap menjaga kepentingan vital Rusia.
“Situasi Ukraina dan Suriah adalah laboratorium bagi realpolitik era baru, di mana batas antara musuh dan kawan bisa bergeser dalam satu malam saja,” ungkap Fiona Hill, pakar Rusia di Brookings Institution. Pandangan ini diperkuat oleh fakta bahwa kedua pemimpin lebih mengutamakan hasil nyata dibanding sekadar memenuhi ekspektasi blok manapun.
Kesimpulan: Diplomasi di Jalur Berliku, Masa Depan Belum Pasti
Proses negosiasi antara Putin dan Erdogan lebih mirip permainan domino ketimbang lari maraton diplomasi. Setiap keputusan terkait Ukraina dan Suriah bukan hanya soal kompromi, tetapi juga pengamanan posisi strategis jangka panjang bagi kedua negara.
Baik Rusia maupun Turki sedang menguji batas-batas diplomasi klasik, di mana kepentingan nasional berada jauh di atas tekad membangun stabilitas kawasan. Pembaca layak bertanya: sampai kapan mereka mampu menyeimbangkan kepentingan masing-masing sebelum perpecahan menjadi tak terelakkan?
Artikel ini didukung oleh Games online. Temukan pengalaman bermain yang seru di Dahlia77.