Tahun 2025 menandai babak baru dalam sejarah konflik Timur Tengah, ketika ketegangan antara Israel dan Iran meletus menjadi perang terbuka. Dunia menyaksikan bagaimana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)—lembaga yang selama ini diharapkan menjadi penengah dan penjaga perdamaian global—berada di bawah sorotan tajam. Banyak pihak menilai, respons pejabat-pejabat PBB terhadap agresi Israel cenderung protektif, sementara Iran justru menanggung konsekuensi berat, baik secara politik, ekonomi, maupun kemanusiaan. Artikel ini mengupas secara mendalam bagaimana dinamika perlindungan PBB terhadap Israel, mengapa Iran menjadi pihak yang paling dirugikan, dan apa implikasi global dari ketidakseimbangan ini.
Perlindungan PBB terhadap Israel: Antara Hukum dan Realitas Politik
Netralitas PBB dalam Sorotan
Secara normatif, PBB terikat pada Piagam PBB dan Konvensi Jenewa 1949, yang mengatur perlindungan warga sipil dan menuntut pertanggungjawaban atas pelanggaran hukum humaniter internasional. Namun, dalam praktiknya, respons PBB terhadap tindakan Israel seringkali dinilai kurang tegas. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres berulang kali mengecam kekerasan yang dilakukan Israel, seperti penembakan warga sipil di Gaza dan serangan ke fasilitas kemanusiaan PBB, serta menuntut penyelidikan independen. Namun, kecaman ini sering tidak diiringi dengan tindakan nyata untuk menekan Israel agar mematuhi hukum internasional.
Kritik terhadap Efektivitas PBB
Pakar hubungan internasional dari UGM, Drs. Muhadi Sugiono, menyoroti lemahnya efektivitas PBB dalam merespons konflik Iran-Israel. Menurutnya, PBB belum mampu memberikan tekanan yang cukup terhadap Israel untuk menghentikan aksi militer sepihak, terutama yang menargetkan fasilitas nuklir dan infrastruktur vital Iran. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa PBB secara tidak langsung memberikan perlindungan politik kepada Israel, apalagi ketika negara-negara besar seperti Amerika Serikat secara terbuka mendukung Israel di forum internasional.
Contoh Kasus: Operasi Rising Lion dan Respons PBB
Pada 13 Juni 2025, Israel meluncurkan Operasi Rising Lion, menyerang lebih dari 100 target di Iran, termasuk fasilitas nuklir Natanz, Isfahan, dan Fordow. Sekjen PBB memang mengutuk serangan ini dan mendesak penahanan diri, tetapi tidak ada langkah konkret seperti sanksi atau embargo yang diambil terhadap Israel. Sementara itu, Amerika Serikat dan negara-negara G7 justru mendukung hak Israel untuk membela diri, memperkuat posisi Israel di mata dunia.
Iran Menanggung Akibat: Isolasi, Kerugian, dan Stigma
Dampak Langsung Serangan Israel
Serangan Israel menyebabkan kerusakan parah pada infrastruktur nuklir dan militer Iran serta menewaskan ratusan warga sipil dan militer, termasuk pejabat tinggi seperti Jenderal Mohammad Bagheri dan Jenderal Hossein Salami. Selain korban jiwa, serangan ini juga memicu gelombang pengungsian, pemadaman listrik, kekurangan bahan bakar, dan kelumpuhan ekonomi di berbagai kota besar Iran.
Respons Iran dan Stigma Internasional
Iran merespons dengan Operasi True Promise III, meluncurkan puluhan misil balistik dan drone ke kota-kota Israel. Namun, serangan balasan ini justru memperkuat narasi bahwa Iran adalah ancaman bagi stabilitas regional. Uni Eropa dan negara-negara Barat mengutuk agresi Iran, sementara Israel tetap mendapat dukungan politik dan militer dari Amerika Serikat dan sekutunya.
Stigma Nuklir dan Standar Ganda
Salah satu alasan utama Israel menyerang adalah kekhawatiran terhadap program nuklir Iran. Padahal, laporan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) tahun 2024 menyebut Iran memang memperkaya uranium hingga 60%, tetapi belum ada bukti produksi senjata nuklir. Ironisnya, Israel sendiri tidak menandatangani Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan menolak inspeksi internasional, tetapi tidak pernah mendapat tekanan yang sama dari PBB atau komunitas internasional.
Ketidakseimbangan Perlindungan dan Konsekuensi Global
Dampak Geopolitik dan Ekonomi
Eskalasi konflik ini memicu kekhawatiran global. Negara-negara tetangga menutup wilayah udara, pasukan keamanan siaga tinggi, dan harga minyak dunia melonjak akibat kekhawatiran gangguan pasokan dari Teluk Persia. PBB memperingatkan bahwa perang antara Iran dan Israel dapat memicu krisis kemanusiaan dan ekonomi yang meluas, bahkan berpotensi menyeret kekuatan besar dunia ke dalam konflik langsung.
Peran Amerika Serikat dan Blok Barat
Keterlibatan Amerika Serikat yang secara resmi bergabung dalam serangan udara ke Iran pada 21 Juni 2025 menandai eskalasi besar. Presiden Trump memberikan ultimatum kepada Iran dan menyatakan dukungan penuh bagi Israel, sementara G7 dan Uni Eropa mendesak de-eskalasi tetapi tetap menegaskan hak Israel untuk membela diri. Hal ini memperkuat persepsi bahwa PBB dan komunitas internasional tidak netral, melainkan cenderung memihak Israel dalam konflik ini.
Kritik dari Negara Berkembang dan Dunia Islam
Indonesia dan sejumlah negara berkembang di Dewan HAM PBB menyoroti kemunafikan negara-negara Barat yang lantang mengampanyekan HAM, tetapi diam terhadap pelanggaran di Gaza dan Iran. Wakil Menteri HAM RI menegaskan pentingnya solidaritas global dan mendesak PBB untuk bertindak adil serta konsisten dalam menegakkan hukum internasional.
Analisis: Mengapa Ketimpangan Ini Terjadi?
Faktor Politik dan Veto Dewan Keamanan
Sistem veto di Dewan Keamanan PBB seringkali menjadi penghalang utama bagi upaya penegakan hukum internasional terhadap Israel. Amerika Serikat sebagai sekutu utama Israel hampir selalu memveto resolusi yang merugikan Israel, sehingga PBB kehilangan daya tawarnya.
Teori Realisme dalam Hubungan Internasional
Menurut teori realisme, negara-negara besar akan selalu mengutamakan kepentingan nasional dan kekuatan militer. Dalam konteks ini, Israel yang didukung AS memiliki posisi tawar lebih tinggi dibandingkan Iran, sehingga perlindungan politik dan diplomatik terhadap Israel di PBB menjadi konsekuensi logis dari dinamika kekuatan global.
Praktik Terbaik: Diplomasi Preventif dan Reformasi PBB
Para ahli menekankan pentingnya diplomasi preventif dan reformasi struktur PBB agar lebih representatif dan efektif. Upaya dialog, mediasi, serta penguatan mekanisme pertanggungjawaban harus diutamakan untuk mencegah konflik serupa di masa depan.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Konflik Israel-Iran tahun 2025 memperlihatkan dengan gamblang dilema netralitas dan efektivitas PBB dalam mengelola krisis internasional. Perlindungan politik dan hukum terhadap Israel, baik secara eksplisit maupun implisit, telah menciptakan ketidakseimbangan yang membuat Iran menanggung akibat paling berat—dari kerusakan infrastruktur, korban jiwa, hingga isolasi internasional.
Langkah ke depan yang dapat diambil antara lain:
- Mendorong reformasi Dewan Keamanan PBB untuk mengurangi dominasi hak veto dan meningkatkan representasi negara-negara berkembang.
- Memperkuat mekanisme pertanggungjawaban atas pelanggaran hukum internasional, tanpa pandang bulu terhadap pelaku.
- Mengedepankan diplomasi dan dialog sebagai solusi utama, bukan kekuatan militer.
- Memastikan perlindungan warga sipil, fasilitas kemanusiaan, dan staf internasional dalam setiap konflik.
Dengan memperbaiki ketimpangan ini, diharapkan PBB dapat kembali menjadi penengah yang adil dan efektif, serta mencegah krisis serupa di masa mendatang—demi perdamaian yang lebih berkelanjutan di Timur Tengah dan dunia.
Leave a Reply