Ketegangan di Timur Tengah kembali memuncak setelah serangkaian serangan militer Amerika Serikat (AS) dan Israel terhadap fasilitas nuklir Iran pada Juni 2025. Tindakan ini tidak hanya mengguncang stabilitas kawasan, tetapi juga memicu kekhawatiran global terkait masa depan rezim nonproliferasi nuklir. Rusia, melalui pernyataan keras di PBB, menuduh AS dan Israel telah menimbulkan “kerusakan besar” pada sistem pengawasan nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), khususnya terhadap Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Artikel ini mengulas secara komprehensif tuduhan tersebut, menelaah dampak nyata di lapangan, serta menganalisis implikasinya terhadap keamanan global dan tata kelola nonproliferasi nuklir.

Latar Belakang: Eskalasi dan Serangan terhadap Fasilitas Nuklir Iran

Pada pertengahan Juni 2025, Israel melancarkan serangan udara ke sejumlah fasilitas nuklir Iran, diikuti oleh serangan AS yang menargetkan situs strategis seperti Natanz, Fordow, dan Isfahan. Serangan ini menggunakan bom penghancur bunker dan rudal jelajah yang dirancang untuk menembus pertahanan bawah tanah. Menurut laporan IAEA dan pengakuan pejabat Iran, serangan tersebut menyebabkan kerusakan signifikan pada infrastruktur pengayaan uranium, fasilitas konversi, serta akses ke terowongan penyimpanan bahan nuklir.

Direktur Jenderal IAEA, Rafael Grossi, mengonfirmasi bahwa dampak kerusakan sangat besar, terutama karena sentrifugal yang digunakan dalam pengayaan uranium sangat sensitif terhadap getaran dan ledakan. Namun, hingga kini tidak ada bukti terjadinya kebocoran radiasi yang membahayakan lingkungan sekitar. Meski demikian, Grossi menekankan bahwa akses IAEA ke lokasi-lokasi terdampak sangat terbatas, sehingga penilaian penuh atas kerusakan aktual belum dapat dilakukan.

Tuduhan Rusia: Kerusakan pada Sistem Pengawasan Nuklir PBB

Rusia, melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri Maria Zakharova dan perwakilannya di Dewan Keamanan PBB, secara terbuka mengecam serangan AS dan Israel sebagai tindakan yang “merusak kredibilitas dan efektivitas sistem pengawasan IAEA”. Rusia menyoroti beberapa poin utama:

  • Pelanggaran terhadap Rezim Nonproliferasi: Serangan terhadap fasilitas yang berada di bawah pengawasan IAEA dianggap sebagai pelanggaran prinsip-prinsip Traktat Nonproliferasi Nuklir (NPT), karena fasilitas tersebut seharusnya dilindungi dari aksi militer sepihak selama masih berada dalam kerangka pengawasan internasional.
  • Gangguan terhadap Verifikasi dan Inspeksi: Serangan tersebut menghambat kemampuan IAEA untuk melakukan inspeksi dan verifikasi secara efektif. Akses ke situs-situs kunci menjadi terbatas, dan beberapa data penting terkait stok uranium serta status fasilitas menjadi tidak dapat diverifikasi secara independen.
  • Preseden Berbahaya: Rusia memperingatkan bahwa membiarkan tindakan ini tanpa kecaman tegas akan menciptakan preseden buruk, di mana negara-negara lain dapat merasa berhak menyerang fasilitas nuklir negara lain dengan dalih keamanan, sehingga merusak tatanan hukum internasional dan memperlemah otoritas IAEA.

Vassily Nebenzia, perwakilan tetap Rusia di PBB, menegaskan bahwa Israel juga menjadi masalah besar karena tidak menjadi anggota NPT, sehingga tidak tunduk pada inspeksi IAEA secara penuh, sementara Iran—yang merupakan anggota NPT—justru menjadi sasaran serangan. Hal ini, menurut Rusia, menunjukkan standar ganda dalam penerapan hukum internasional.

Dampak Nyata di Lapangan: Data, Fakta, dan Analisis

Kerusakan Fasilitas dan Pengawasan

Analisis awal IAEA menunjukkan bahwa serangan ke Natanz, Fordow, dan Isfahan menyebabkan kehancuran pada beberapa gedung utama, termasuk fasilitas pengayaan dan konversi uranium. Di Natanz, pabrik pengayaan bahan bakar mengalami kerusakan berat. Di Isfahan, beberapa bangunan yang berhubungan dengan proses konversi uranium hancur, dan pintu masuk terowongan penyimpanan juga terdampak.

Grossi menegaskan bahwa kerusakan pada sentrifugal dan infrastruktur pengayaan dapat memundurkan program nuklir Iran selama bertahun-tahun, namun Iran masih memiliki pengetahuan teknis dan kapasitas industri untuk membangun kembali fasilitas tersebut. Di sisi lain, sejumlah besar uranium yang telah diperkaya dilaporkan telah dipindahkan Iran sebelum serangan terjadi, sehingga stok tersebut tidak sepenuhnya hancur.

Gangguan Terhadap Inspeksi dan Transparansi

Salah satu dampak paling signifikan dari serangan ini adalah terhambatnya akses IAEA ke fasilitas terdampak. Inspektur IAEA tidak dapat segera masuk untuk melakukan verifikasi, sehingga status aktual stok uranium dan tingkat kerusakan fasilitas menjadi tidak jelas. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa ketidakpastian ini dapat dimanfaatkan oleh semua pihak untuk memperkuat narasi masing-masing, memperkeruh diplomasi, dan meningkatkan risiko mispersepsi strategis.

Sebagai contoh, IAEA mengakui telah kehilangan jejak atas stok uranium Iran karena serangan bertubi-tubi dan pembatasan akses ke lokasi penyimpanan. Kondisi ini memperlemah sistem verifikasi yang selama ini menjadi fondasi utama NPT dan memperbesar risiko proliferasi senjata nuklir secara global.

Respon Global dan Krisis Legitimasi

PBB dan banyak negara menyerukan de-eskalasi dan kembalinya jalur diplomasi. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyebut serangan ini sebagai “eskalasi berbahaya” yang berpotensi membawa bencana bagi kawasan dan dunia. Negara-negara Eropa dan Asia juga mengingatkan bahwa tindakan militer terhadap fasilitas di bawah pengawasan internasional dapat mengancam seluruh sistem nonproliferasi yang telah dibangun selama puluhan tahun.

Studi Kasus: Politik IAEA dan Standar Ganda

Kritik terhadap IAEA juga mengemuka, terutama terkait dugaan bahwa lembaga ini digunakan sebagai alat politik oleh negara-negara besar. Sebuah laporan investigatif menunjukkan bahwa resolusi IAEA yang menyudutkan Iran pada pertengahan Juni 2025 didorong oleh tekanan diplomatik AS dan Israel, dan dijadikan pembenaran bagi serangan militer. Sementara itu, Israel yang tidak menandatangani NPT tetap terbebas dari inspeksi IAEA, menimbulkan pertanyaan serius tentang keadilan dan konsistensi penerapan hukum internasional.

Mohamed ElBaradei, mantan Direktur Jenderal IAEA, pernah memperingatkan bahwa “mengandalkan kekuatan militer, bukan diplomasi, adalah cara pasti untuk menghancurkan NPT dan sistem pengawasan nuklir global”. Situasi saat ini tampaknya mengafirmasi peringatan tersebut.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Serangan militer AS dan Israel terhadap fasilitas nuklir Iran telah menimbulkan kerusakan fisik signifikan dan secara nyata menghambat kerja pengawasan IAEA. Tuduhan Rusia bahwa tindakan ini merusak kredibilitas dan efektivitas pengawas nuklir PBB memiliki dasar kuat, terutama jika dilihat dari perspektif hukum internasional dan tata kelola nonproliferasi. Ketidakmampuan IAEA untuk segera mengakses dan memverifikasi kondisi fasilitas memperbesar risiko proliferasi dan memperlemah kepercayaan global terhadap sistem pengawasan nuklir.

Langkah ke depan yang direkomendasikan:

  • Komunitas internasional perlu menegaskan kembali komitmen pada prinsip NPT dan mendesak semua pihak untuk menghormati kerangka hukum internasional.
  • IAEA harus diberi akses penuh dan tanpa hambatan ke semua fasilitas terdampak guna memulihkan transparansi dan kepercayaan.
  • Negara-negara besar, termasuk AS dan Israel, perlu menahan diri dari tindakan sepihak yang dapat mengacaukan sistem pengawasan global dan membuka ruang bagi diplomasi yang adil dan setara.

Krisis ini menjadi pengingat bahwa keamanan nuklir global hanya dapat dijaga melalui tata kelola multilateral, transparansi, dan penghormatan terhadap hukum internasional—bukan melalui kekuatan militer atau standar ganda.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *