
Benarkah Inggris Siap Hadapi Tiongkok Demi Taiwan Sebuah Analisis Tajam
Menguak Motif Inggris: Retorika atau Ancaman Nyata?
Pernyataan keras pemerintah Inggris yang memperingatkan kemungkinan keterlibatan langsung melawan Tiongkok terkait Taiwan menuai perbincangan panas di kalangan pengamat politik global. Apakah Inggris serius mempertaruhkan posisinya demi Taiwan? Ataukah peringatan ini sekadar retorika diplomatik untuk mempertahankan citra di panggung internasional?
Inggris memahami betul kompleksitas masalah Taiwan – pulau yang secara de facto merdeka namun tetap diklaim oleh Beijing sebagai bagian tak terpisahkan dari teritori Tiongkok. Hubungan Inggris dengan Taiwan selama ini memang berjalan secara informal, namun tensi geopolitik yang mengerucut mendorong berbagai negara Barat, terutama AS dan sekutunya, untuk memperjelas dukungan mereka terhadap Taipei.
Latar Belakang Politik: Dari Retorika ke Potensi Konfrontasi
Pada awal Juli 2025, Menteri Pertahanan Inggris kembali menegaskan bahwa “setiap ancaman nyata terhadap stabilitas di Taiwan akan mendapat respons dari komunitas internasional, termasuk Inggris.” Klaim ini memperkuat sinyal bahwa Inggris tak menutup kemungkinan memberikan dukungan militer kepada Taiwan jika krisis memuncak . Namun, apakah Inggris benar-benar siap berhadapan langsung dengan Tiongkok yang kini menjadi kekuatan militer kedua terbesar dunia?
Doug Bandow, seorang analis senior di Cato Institute, mengingatkan, “Bagi Inggris, terlibat dalam konflik besar di Asia Timur ibarat memasuki wilayah tak bertuan yang sarat risiko. Kecuali sekutu utama mereka, AS, benar-benar turun tangan, komitmen Inggris kepada Taiwan lebih berperan sebagai sinyal politik ketimbang ancaman praktis.” Pernyataan ini menyoroti dilema yang dihadapi Downing Street saat memutuskan sikap terhadap konflik Taiwan-Tiongkok.
Studi Kasus: Diplomasi Kapal Perang dan Respons Beijing
Sebagai contoh nyata, pada 2024 dan 2025, kapal perang Inggris HMS Queen Elizabeth sempat berlayar melintasi Laut Cina Selatan dalam misi “kebebasan navigasi.” Aksi ini memicu respons keras dari Beijing, yang menuduh Inggris “mengganggu urusan dalam negeri Tiongkok dan melakukan provokasi imperialistik.” Tiongkok bahkan meningkatkan patroli armada AL di sekitar Taiwan setelah kunjungan kapal Inggris dan Amerika Serikat .
Pengamat militer seperti Profesor Julian Lindley-French menyebut, “Tantangan utama bagi Inggris bukan sekadar mengirim kapal perang. Ini soal kesiapan menghadapi kemungkinan serangan siber, tekanan ekonomi, sekaligus manuver secara diplomatik untuk mengamankan dukungan global.”
Risiko Ekonomi: Hubungan Dagang versus Nilai Strategis
Perlu dicatat, China merupakan salah satu mitra dagang terbesar Inggris, terutama pasca-Brexit. Data menunjukkan nilai ekspor-impor kedua negara mencapai US$100 miliar pada 2024, dominan di bidang teknologi, otomotif, dan layanan finansial. Jika benar-benar pecah perang, Inggris bukan hanya menghadapi ancaman militer, tapi juga potensi embargo dan pemutusan rantai pasok vital yang bisa menghantam ekonomi domestik .
Ekonom Dr. Eliza Ford dalam sebuah panel diskusi Oxford International Relations Society menilai, “Retorika keras sering dipakai sebagai penyeimbang moral, tapi konsekuensi ekonomi langsungnya bisa lebih besar daripada keuntungan strategisnya. Inggris masih sangat berhitung sebelum mengambil keputusan lebih lanjut.”
Respons Domestik: Elite Politik dan Sentimen Publik
Tak semua pihak di dalam negeri mendukung langkah konfrontatif. Sejumlah anggota parlemen dari Partai Buruh dan bahkan sebagian konservatif mempertanyakan urgensi mendahulukan isu Taiwan ketimbang merespons masalah di dalam negeri seperti krisis biaya hidup dan keamanan energi. Polling YouGov pada pertengahan 2025 menunjukkan hanya 21% warga Inggris yang mendukung keterlibatan militer di Selat Taiwan jika situasi memanas.
Meski begitu, pemerintah tetap berupaya menampilkan posisi tegas di hadapan sekutu Barat, terutama demi menjaga pengaruh di Indo-Pasifik dan memperkuat NATO menghadapi ancaman Tiongkok dan Rusia secara bersamaan. “Kita tidak boleh membiarkan kekuatan otoriter merusak tatanan berbasis aturan internasional,” ujar seorang pejabat senior Kementerian Luar Negeri Inggris dalam briefing resmi .
Opini Penutup: Realisme atau Hanya Teatrikal?
Melihat dinamika ini, sulit untuk tidak skeptis terhadap kemungkinan Inggris benar-benar akan bertempur melawan Tiongkok. Ancaman yang dilontarkan pemerintah, selain sebagai upaya diplomatik untuk menahan agresi Beijing, juga bertujuan memperkuat relasi dengan Amerika Serikat dan sekutu besar lainnya. Namun, realitas di lapangan menunjukkan Inggris lebih memilih memainkan peran di balik layar, menekan Tiongkok lewat sanksi ekonomi, kerja sama intelijen, dan penguatan aliansi kawasan daripada konfrontasi militer terbuka.
Singkatnya, Inggris memang sedang memainkan dua peran sekaligus: menjaga kredibilitas politik luar negeri di mata publik serta menjaga stabilitas ekonomi dan keamanan domestik. Bagi mereka yang haus akan kepastian, jawaban jujur mungkin bukan pada retorika, melainkan pada sejauh mana Inggris berani mengambil risiko geopolitik di kawasan strategis seperti Taiwan.
Sponsor: Nikmati sensasi tantangan dan strategi di dunia maya bersama Dahlia77, platform Games online terpercaya. Rasakan pengalaman seru sambil tetap update isu global terkini!