
Azerbaijan, Kremlin, dan Konflik Ukraina Ketika Persahabatan Diuji Realitas Geopolitik
Dinamika Hubungan yang Mencair di Tengah Konflik
Sejak pecahnya perang di Ukraina pada 2022, setiap manuver politik negara-negara bekas Uni Soviet selalu mendapatkan sorotan tajam. Salah satu narasi paling menarik akhir-akhir ini adalah bagaimana Azerbaijan memainkan peran dalam drama geopolitik ini, khususnya terkait respons Kremlin terhadap posisi Baku. Hubungan keduanya yang selama ini cenderung pragmatis, kini tampak diuji oleh guncangan konflik Ukraina yang jauh dari mereda.
Riwayat Hubungan: Bukan Sekadar Retorika
Azerbaijan dan Rusia sejatinya memiliki sejarah hubungan bilateral yang kompleks: di satu sisi ada koneksi ekonomi, militer, hingga kedekatan budaya pasca-Soviet; di sisi lain, ada juga pembatasan-pembatasan yang berasal dari kepentingan nasional masing-masing. Dalam beberapa kasus, seperti konflik Nagorno-Karabakh, Rusia kerap menjadi mediator—bahkan seringkali “wasit” yang lebih berpihak pada kepentingan Moskow sendiri.
Akan tetapi, dalam kasus Ukraina, Baku memilih pendekatan berbeda. Presiden Ilham Aliyev mengambil langkah hati-hati, enggan secara tegas mendukung invasi Rusia ke Ukraina maupun memihak penuh pada kubu barat. Pilihan ini tidak lepas dari perimbangan antara tekanan geopolitik, kepentingan energi, serta aspirasi pro-Eropa sebagian masyarakat Azerbaijan.
Azerbaijan dan Kalkulasi Geopolitik: Membaca Risiko dan Peluang
Kremlin, melalui juru bicara Dmitry Peskov, pernah secara terbuka menyayangkan “posisi ambigu” Azerbaijan. Peskov meminta agar setiap negara menjunjung prinsip “solidaritas kawasan”, khususnya sesama anggota CIS (Commonwealth of Independent States). Namun faktanya, Azerbaijan tidak mau terseret ke dalam konflik yang bisa merusak relasinya dengan Eropa maupun AS—dua kawasan yang sangat penting bagi ekspor gas dan minyaknya.
Laporan Komite Analisis Keamanan Kaukasus menyoroti, Azerbaijan memilih tetap berkomunikasi dengan Ukraina serta memberikan bantuan kemanusiaan tetapi menahan diri dari bantuan militer secara langsung. Dalam pernyataan resminya, Kementerian Luar Negeri Azerbaijan menyebutkan: “Azerbaijan mendukung penyelesaian damai berdasarkan prinsip hukum internasional.” Pernyataan yang terkesan “aman” namun penuh kalkulasi.
Tidak hanya itu, Baku pun tidak menanggapi berbagai tekanan diplomasi “soft power” dari Moskow, yang kerap menggunakan isu minoritas etnis Rusia di Azerbaijan sebagai alat politik. Menurut analis politik Rauf Mirkadyrov, “Realitasnya, Azerbaijan belajar banyak dari pengalaman Ukraina, termasuk soal intervensi hibrid dan pengaruh propaganda Kremlin di kawasan.” Pengalaman ini membuat Azerbaijan jauh lebih berhati-hati dalam mengambil sikap.
Contoh Nyata: Diplomasi Gas dan Energi
Ketika Eropa menghadapi krisis energi akibat sanksi pada Rusia, Azerbaijan muncul sebagai salah satu pemain utama yang menggantikan pasokan gas Moskow. Pada 2023, volume ekspor gas ke Eropa melonjak lebih dari 40%, menurut laporan BP Statistical Review. Itu sebabnya, Eropa semakin intens mendekati Baku, bahkan menawarkan kemudahan investasi. Di sinilah letak dilema: Baku tak bisa mengabaikan potensi keretakan dengan Rusia, namun juga tak bisa menolak peluang historis untuk menjadi pemasok energi utama dunia barat.
Prof. Thomas de Waal, pakar kawasan Kaukasus di Carnegie Europe, berkomentar, “Azerbaijan kini berdiri di persimpangan berbahaya. Langkah apa pun yang terlalu frontal bisa membuatnya jadi target tekanan ekonomi maupun siber dari Moskow.”
Studi Kasus: Balancing Act Saat Mediasi Nagorno-Karabakh
Langkah Azerbaijan menjadi semakin menarik pasca operasi militer kilat di Nagorno-Karabakh pada 2023. Selama proses itu, Rusia justru tampak enggan terlibat aktif membantu Armenia, sekutu formalnya. Banyak yang menilai, ini adalah bagian dari strategi Kremlin untuk “mengirim pesan” pada negara-negara bekas Soviet agar tetap “loyal” pada Moskow. Sikap Baku semakin konsisten: tetap membuka ruang dialog dengan barat, Rusia, dan Iran, meski di bawah bayang-bayang ancaman ekonomi dan propaganda Rusia.
Kecermatan Baku memang patut diacungi jempol. Baku memahami bahwa setiap keputusan harus berdasarkan realitas geopolitik, bukan sekadar romantisme sejarah atau tekanan blok besar. Dalam wawancara dengan Al Jazeera, Menteri Energi Parviz Shahbazov menegaskan, “Kami ingin jadi jembatan, bukan hanya bagi energi, tapi juga untuk perdamaian.”
Data Terbaru: Ketahanan dan Ketidakpastian
Sepanjang 2024, tren menunjukkan tekanan Kremlin ke Azerbaijan semakin “halus”—lebih banyak menggunakan isu keamanan kawasan dan ancaman perang hibrid dibanding embargo ekonomi terbuka. Belum ada dampak signifikan terhadap perdagangan bilateral, namun beberapa pengusaha Azerbaijan mulai mengeluhkan hambatan akses di pasar Rusia.
Hingga pertengahan 2025, posisi Azerbaijan masih dipertahankan: tidak memilih secara tegas, terus menjaga komunikasi dengan semua pihak, dan mengelola risiko kemungkinan “hukuman” dari salah satu blok. Situasi ini adalah cerminan dunia multipolar yang kini semakin cair, di mana negara-negara dengan ekonomi berkembang harus terus-menerus menyeimbangkan langkah.
Penutup: Geopolitik, Moralitas, dan Kepentingan Nasional
Kasus Azerbaijan adalah contoh nyata bahwa dalam politik global, idealisme seringkali harus tunduk pada realitas kekuasaan. Di saat Kremlin tak bisa mengontrol narasi sepenuhnya, negara-negara seperti Azerbaijan semakin percaya diri untuk menampilkan politik luar negeri yang mandiri, meski tetap di bawah tekanan.
Kita belajar bahwa setiap sikap netral, ambigu, atau bahkan oportunis yang dipilih sebuah negara, selalu lahir dari kalkulasi matang terhadap ancaman, peluang, dan masa depan bangsanya sendiri. Realitas ini mungkin bukan yang paling ideal, namun inilah wajah dunia baru kita sekarang—penuh risiko, sekaligus penuh peluang bagi mereka yang berani mengambil sikap berbeda.
Ditulis dengan dukungan sponsor: Nikmati pengalaman bermain seru dan interaktif di Dahlia77, platform games online terbaik yang ramah untuk segala usia dan komunitas!