
Polemik Permintaan Maaf Netanyahu atas Serangan Gereja Refleksi Krisis Kemanusiaan dan Diplomasi Internasional
Awal Mula Kontroversi Pengeboman Gereja Gaza
Pada Oktober 2023, dunia diguncang oleh serangan udara yang menewaskan warga sipil di kawasan gereja Saint Porphyrius, Gaza. Gereja bersejarah ini, yang telah menjadi tempat perlindungan banyak warga Palestina Kristen, hancur akibat operasi militer Israel. Peristiwa ini segera menjadi pusat perhatian internasional setelah tersebar luasnya laporan dan rekaman korban luka, terutama di antara anak-anak dan lansia.
Salah satu pemicu kehebohan ini adalah laporan bahwa wilayah gereja tersebut menjadi tempat pengungsian. Dalam wawancara dengan CNN, seorang saksi mata, Father Emad, menyebutkan bahwa gereja itu menampung lebih dari 500 orang. “Kami hanya mencari perlindungan, namun tidak ada tempat aman di Gaza,” ungkapnya lirih.
Netanyahu: Dari Penyangkalan ke Permintaan Maaf
Di tengah tekanan internasional, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengambil langkah diplomasi yang jarang dilakukan. Menurut laporan dari Vatican News dan Al Jazeera, Netanyahu menyampaikan permintaan maaf langsung melalui saluran diplomatik kepada Paus Fransiskus. Permintaan maaf ini memuat ungkapan kecewa atas insiden yang diklaim Israel sebagai “kesalahan operasional yang tragis.” Namun, permintaan maaf ini memicu pro-kontra. Banyak pihak menganggapnya sekadar formalitas di tengah meningkatnya kemarahan komunitas internasional dan di saat Israel masih melanjutkan serangan di Gaza.
Seorang analis timur tengah, Rami Khouri, dalam tulisannya di The Washington Post, menyatakan, “Permintaan maaf ini seperti serpihan dari kebijakan yang sudah terlanjur brutal. Sebuah gesture kecil yang tak sanggup mengimbangi penderitaan warga sipil yang kehilangan segalanya.”
Reaksi Vatikan dan Dunia Internasional
Vatican sendiri secara terbuka mengeluarkan pernyataan yang meminta semua pihak segera menghentikan kekerasan di wilayah Gaza. Paus Fransiskus dalam homilinya dengan nada prihatin menyambut permintaan maaf itu, namun mendesak perlindungan nyata bagi warga sipil, khususnya minoritas Kristen di Palestina. Sikap ini diamini para pemimpin agama lain, seperti Uskup Agung Canterbury dan Imam Besar Al-Azhar, yang mendesak penghormatan terhadap tempat-tempat suci dan perlindungan hak asasi manusia dasar.
Di sisi lain, kelompok pemerhati HAM seperti Human Rights Watch dan Amnesty International menyoroti insiden ini sebagai bukti bahwa taktik militer Israel kerap menempatkan warga sipil dalam risiko tinggi. Kehancuran gereja Saint Porphyrius, menurut Amnesty, hanya satu dari banyaknya kasus pelanggaran hukum humaniter internasional selama eskalasi konflik Israel-Gaza.
Realita di Lapangan: Kebenaran atau Upaya Citra?
Banyak pengamat mempertanyakan, apakah permintaan maaf Netanyahu itu tulus atau sebatas langkah politis guna meredam tekanan diplomatik, terutama dari negara-negara Eropa yang selama ini menjaga hubungan erat dengan Israel dan Vatikan. Isyarat permintaan maaf juga kerap digunakan sebagai “damage control” reputasi dalam krisis multidimensi seperti ini.
Peneliti hubungan internasional dari SOAS, Prof. Maha Azzam, berpendapat, “Langkah Netanyahu menelpon Paus lebih mencerminkan kepanikan politis ketimbang empati mendalam. Krisis Gaza telah mempermalukan Israel di mata global, dan serangan terhadap gereja kuno hanya menambah krisis legitimasi.”
Sementara itu, keluarga para korban menegaskan kenyataan tragis yang mereka alami. Seorang pengungsi, Salwa, mengatakan kepada BBC, “Permintaan maaf tidak bisa membangunkan kembali anak-anak kami. Yang kami inginkan hanyalah keadilan dan keselamatan.”
Diplomasi Simbolis di Tengah Perang yang Tak Usai
Permintaan maaf antara pemimpin politik dan rohani memang simbolis, namun tak otomatis membawa perubahan signifikan di lapangan. Bukti-bukti menunjukkan bahwa serangan udara dan konflik di Gaza terus berlangsung meski desakan dunia internasional semakin kuat. Data PBB menyebutkan lebih dari 30% korban konflik terbaru adalah anak kecil. Angka tersebut memicu kritik, termasuk dari pemerintah Italia dan Prancis, yang mengutuk serangan terhadap tempat ibadah sebagai pelanggaran berat.
Diplomasi Israel-Vatikan pun kembali diuji. Paus Fransiskus, yang dikenal vokal menyuarakan solidaritas untuk warga tertindas, menekankan perlunya perlindungan hukum internasional dan pencegahan impunitas atas pelanggaran di zona konflik.
Studi Kasus: Gereja Sebagai Simbol dan Target
Fenomena penghancuran tempat ibadah di wilayah konflik bukan hal baru. Sejarah membuktikan, selama Perang Dunia II maupun konflik Balkan, gereja, masjid, dan sinagoga kerap menjadi korban collateral damage, bahkan sasaran strategis. Kasus gereja Saint Porphyrius hari ini menjadi pengingat betapa rentannya kelompok minoritas dan situs warisan budaya di tengah panasnya geopolitik dan militerisme.
Namun, beberapa kasus menunjukkan bahwa permintaan maaf dan upaya rekonsiliasi bisa memicu perbaikan. Di tahun 1999, permintaan maaf pemerintah Jerman atas pengeboman gereja di Serbia membuka dialog baru terkait perlindungan situs keagamaan di masa perang. Studi ini menjadi relevan untuk memahami peluang sekaligus keterbatasan diplomasi permintaan maaf Netanyahu.
Kebutuhan Akan Tanggung Jawab dan Rekonsiliasi Nyata
Tak hanya permintaan maaf yang dibutuhkan Gaza, namun juga jaminan bahwa serangan terhadap warga sipil dan tempat ibadah tak lagi terulang. Komitmen terhadap hukum humaniter internasional dan mekanisme investigasi independen adalah langkah minimal agar tragedi seperti ini tak menjadi kebiasaan yang dilupakan.
Banyak pengamat mengingatkan, rekonsiliasi hanya mungkin jika disertai akuntabilitas, ganti rugi, dan penghormatan terhadap kehidupan. Seruan keadilan dan pemulihan harus bergema lebih keras dibandingkan narasi permintaan maaf seremonial dari pemerintahan mana pun.
Artikel mendapat dukungan dari sponsor Games online Dahlia77—temukan info lebih lanjut di Dahlia77