
Saingan Politik Utama Erdogan Dipenjara di Turki
Penangkapan Saingan Politik: Simbol Krisis Demokrasi
Penahanan salah satu lawan politik utama Presiden Recep Tayyip Erdogan di Turki kembali memanaskan debat tentang arah demokrasi negara itu. Dalam beberapa tahun belakangan, Erdogan dan partainya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), berulang kali dituding menggunakan perangkat hukum untuk menjerat rival politik dengan tuduhan yang kerap dipandang kontroversial atau politis. Penahanan terbaru ini menambah daftar panjang tindakan represif terhadap lawan-lawan politik, aktivis, dan jurnalis independen di negeri dua benua tersebut.
Kasus Penahanan Imamoglu: Titik Balik Politik?
Salah satu kasus yang menyita perhatian dunia adalah pemenjaraan Ekrem Imamoglu, Wali Kota Istanbul yang meraih kemenangan mengejutkan dalam Pemilu 2019 melawan calon pendukung pemerintah. Imamoglu dianggap lawan yang serius karena kemampuannya menggalang massa urban dan mengusung agenda reformasi yang segar. Namun, dakwaan “penghinaan terhadap pejabat publik” disematkan padanya pada akhir 2022—sebuah tuduhan yang dianggap banyak pengamat sebagai manuver politis untuk menghalangi langkahnya menuju kancah nasional.
“Penahanan ini memiliki aroma politis yang sangat kuat dan mengirim sinyal negatif bagi kebebasan sipil di Turki,” ujar Hugh Williamson, Direktur Human Rights Watch untuk Eropa dan Asia Tengah, dalam sebuah pernyataan.[ref:1]
Dalam konteks Turki yang sangat terpolarisasi, tindak pemenjaraan terhadap oposisi bukan hanya berimplikasi pada satu individu, melainkan menyasar fondasi demokrasi itu sendiri.
Alur Referensi Hukum yang Dipertanyakan
Penegakan hukum yang berujung pada hukuman bagi oposisi kerap dibayangi keraguan. Banyak dari mereka yang dijerat dengan pasal ambigu semacam “penghinaan negara” atau “terorisme”, yang dalam praktiknya telah menjadi instrumen negara. Sejak kudeta gagal 2016, ribuan orang yang dituding terkait dengan gerakan Fethullah Gulen—seteru lama Erdogan—telah dipenjara, termasuk akademisi dan PNS. Peneliti dari Freedom House bahkan menurunkan status demokrasi Turki menjadi “tidak bebas” dalam laporannya tahun 2023.
Kasus Selahattin Demirtas, mantan ketua Partai Demokratik Rakyat (HDP), juga menjadi contoh signifikan. Demirtas ditahan sejak 2016 atas tuduhan mendukung terorisme. Namun Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa berulang kali menyatakan penahanannya bermotif politik, menuntut pembebasan yang diabaikan pengadilan domestik Turki.
Konsekuensi bagi Politik Dalam Negeri
Konsekuensi langsung dari pemenjaraan oposisi adalah melemahnya daya tawar politik rival Erdogan, khususnya menjelang pemilu. Kekhawatiran mengenai “politik satu suara” pun semakin terbuka. “Turki kini bergerak menjauhi negara demokratis, menuju rezim otoriter yang tak segan memenjarakan siapa pun yang menantang kekuasaan” ujar Soner Cagaptay dari The Washington Institute, dalam artikelnya untuk Al-Monitor.[ref:2]
Imamoglu dan Demirtas dianggap sebagai figur oposisi yang menawarkan alternatif, termasuk pada segmen pemilih muda dan urban yang menginginkan perubahan. Represi terhadap mereka, di satu sisi, memang mempersempit ruang gerak oposisi, namun juga berpotensi memicu gelombang solidaritas masyarakat sipil yang luas. Hasil survei Konda pada awal 2024, misalnya, menunjukkan 60% responden menilai penangkapan tokoh oposisi sebagai “tidak adil”.
Dampak terhadap Hubungan Internasional Turki
Selain menuai kecaman domestik, langkah represif Erdogan juga mencoreng citra Turki di mata dunia. Uni Eropa berulang kali mengutuk penahanan terhadap lawan politik, bahkan mengaitkannya dengan proses negosiasi keanggotaan yang kini nyaris beku. Hubungan dengan Amerika Serikat juga tercoreng setelah Washington menyebut pemenjaraan tokoh oposisi sebagai pelanggaran prinsip-prinsip demokrasi dan HAM.
“Penahanan tokoh politik dengan tuduhan ambigu merupakan langkah mundur besar bagi upaya Turki menjadi bagian dunia demokratis,” tegas pernyataan resmi Dewan Eropa, Maret 2024.[ref:3]
Oposisi yang Tidak Padam: Narasi Baru Lawan Erdogan
Meski ruang demokrasi kian menyempit, oposisi Turki tidak sepenuhnya bungkam. Banyak pihak menggunakan media sosial sebagai alat perlawanan, menggalang petisi online, dan menyelenggarakan aksi solidaritas yang, ironisnya, justru semakin menggugah publik urban untuk menuntut reformasi. Munculnya tokoh-tokoh muda seperti Canan Kaftancioglu menandakan estafet perjuangan belum usai.
“Setiap kali kita berupaya dibungkam, justru solidaritas sesama warga melonjak,” jelas Kaftancioglu dalam wawancaranya dengan Deutsche Welle.
Penutup: Demokrasi Turki di Persimpangan Jalan
Realistislah—Turki saat ini berhadapan dengan dilema antara stabilitas politik dan kebebasan sipil yang kian tergerus. Penangkapan lawan politik utama Erdogan bukan saja sebuah tragedi bagi individu yang dijerat hukum, melainkan juga sinyal krisis akut demokrasi yang tak bisa dipoles oleh citra pemerintahan. Dunia memantau, masyarakat bersuara, dan jejak sejarah baru tentang pembungkaman kekuasaan sedang ditulis dari penjara-penjara Turki.
Artikel ini dipersembahkan oleh sponsor Games online. Temukan info menarik lainnya di Dahlia77