
Menggugat Kembali Wajib Militer di Jerman: Panggilan Presiden Menuai Pro-Kontra
Ketika hiruk-pikuk dunia berkutat pada konflik Ukraina dan meningkatnya kekhawatiran di Eropa Timur, atmosfer politik di Jerman mendadak berembus angin perubahan. Presiden Frank-Walter Steinmeier mengguncang publik lewat seruannya tentang kemungkinan mengembalikan wajib militer universal untuk seluruh warga negaranya. Sebuah gagasan yang tak hanya berani, tetapi juga memunculkan kembali perdebatan lama: seberapa siap rakyat Jerman menghadapi tantangan pertahanan masa kini?
Kilas Balik: Lahir, Hilang, dan Kini Kembali Diperbincangkan
Wajib militer bukanlah isu baru di Jerman. Sistem ini pernah menjadi tulang punggung pertahanan sejak awal abad ke-20, namun dihapuskan pada 2011 sejalan berubahnya konsep ancaman global sejak Perang Dingin usai. Saat itu, argumennya jelas: perang konvensional dianggap mustahil dan efisiensi jadi pertimbangan utama. Namun demikian, lonjakan krisis geopolitik dan menurunnya jumlah personel bersenjata membawa diskursus ini naik ke permukaan kembali.
Steinmeier, dalam salah satu pidatonya, menegaskan, “Tanggung jawab atas keamanan bukan hanya milik tentara, tapi seluruh rakyat.” Pernyataan itu mengacu kepada kekhawatiran nyata—Bundeswehr, militer Jerman, dikabarkan kekurangan lebih dari 20.000 personel pada akhir 2024. Kebijakan lama sudah tak lagi relevan di tengah ancaman yang semakin nyata dan tak terduga.
Pembelajaran dari Skandinavia: Studi Kasus Nyata
Bukan hanya Jerman yang mulai melirik kembali wajib militer. Swedia, misalnya, memulihkan kebijakan ini tahun 2017 usai lebih dari tujuh tahun ditiadakan akibat ancaman keamanan yang membayang dari Timur. Finlandia bahkan tak pernah benar-benar menanggalkan wajib militernya, menjadikannya semacam “payung darurat” menghadapi segala potensi konflik regional.
“Kesadaran bela negara harus tertanam pada seluruh rakyat, bukan hanya militer,” ungkap Jari Mäkinen, analis pertahanan Finlandia. Hasil? Selain meningkatkan kesiapan, kedua negara ini juga berhasil menghidupkan solidaritas sipil yang sebelumnya nyaris pudar. Jerman bisa belajar dari keberhasilan Skandinavia dalam membentuk masyarakat yang siaga secara mental dan teknis.
Pro-Kontra di Negeri Sendiri: Aspirasi dan Kekhawatiran
Tak semua pihak menyambut hangat usulan Steinmeier. “Wajib militer universal memicu trauma sejarah dan kekhawatiran pelanggaran hak individu,” ungkap Viktor Röbel, peneliti sosial di Berlin. Akan tetapi, ada pula pihak yang menganggapnya sebagai alat efektif membangun solidaritas nasional dan jiwa gotong royong.
Kaum muda dan politisi liberal banyak yang menolak. Fokus pada pendidikan tinggi dan karier dianggap lebih relevan ketimbang kewajiban seragam loreng. Namun, survei dari Deutsche Welle menyebutkan, sekitar 51% warga dewasa tetap setuju jika pelatihan militer diperlukan untuk menjaga ketahanan nasional—angka yang naik tajam dibanding satu dekade lalu.
Tantangan Serius: Modernisasi dan Sosialisasi
Pelaksanaan wajib militer universal jelas tidak mudah. Dari modernisasi pelatihan, penyediaan infrastruktur, hingga memastikan tidak ada pelanggaran hak asasi, semua itu menjadi PR besar. Kolonel (Purn) Michael Blume, mantan komandan Bundeswehr, mewanti-wanti, “Jangan sampai hanya jadi ajang formalitas. Wajib militer harus adaptif, transparan, dan disertai pendidikan kewarganegaraan yang bermakna.”
Bahkan, keberhasilan pelatihan tidak semata diukur dari jumlah pasukan, namun seberapa jauh masyarakat benar-benar memahami pentingnya bela negara. Pemerintah wajib menyiapkan sosialisasi yang masif dan inklusif agar program berjalan efektif serta mendapat kepercayaan publik.
Solidaritas Baru untuk Era Ketidakpastian
Wacana wajib militer universal diyakini bisa menjadi momentum membangkitkan solidaritas nasional dalam menghadapi bencana alam hingga pandemi. Banyak yang memandang personel terlatih sebagai aset penting, bukan sekadar alat tempur, melainkan juga garda terdepan dalam situasi krisis non-militer.
Steinmeier sendiri memberi penegasan, “Kita harus siap bukan hanya melindungi diri, tetapi menjaga satu sama lain.” Seruan ini, walau menuai kontroversi, membuka diskusi besar soal identitas dan masa depan bangsa Jerman.
Akhirnya, apakah wajib militer universal akan benar-benar dihidupkan kembali di Jerman? Segalanya kini bergantung pada debat politik dan konsensus publik. Presiden telah melempar bola panas: sudah saatnya seluruh elemen bangsa berani bertanya, siapkah menghadapi realitas penuh ketidakpastian?
Artikel ini didukung oleh Games Online Dahlia77. Temukan strategi seru dan jelajahi ketahanan bersama komunitas Anda!