Dalam beberapa tahun terakhir, TikTok telah menjadi fenomena digital di Kenya, menyalip platform lain sebagai sumber utama konsumsi berita dan hiburan, khususnya di kalangan muda urban. Namun, di balik popularitasnya, laporan terbaru Reuters Institute Digital News Report 2025 menobatkan TikTok sebagai platform teratas penyebaran misinformasi di Kenya, mengalahkan Facebook dan WhatsApp. Temuan ini menimbulkan kekhawatiran serius terhadap integritas demokrasi, kohesi sosial, dan keamanan nasional, terutama menjelang pemilu 2027.
Artikel ini mengupas secara mendalam mengapa TikTok menjadi lahan subur misinformasi di Kenya, bagaimana pola penyebarannya, dampaknya bagi masyarakat, serta upaya dan tantangan dalam menanggulanginya.
TikTok: Dari Hiburan ke Sumber Utama Berita (dan Misinformasi)
Kenya menempati posisi unik sebagai negara dengan penetrasi TikTok tertinggi di dunia. Pada 2023, 29% responden survei Reuters Institute mengaku mengonsumsi berita lewat TikTok, dan angka ini melonjak menjadi 38% pada 2025, melampaui negara-negara lain di Global South seperti Afrika Selatan dan Nigeria. Dengan lebih dari 10 juta pengguna aktif, TikTok telah menjadi ruang utama diskusi politik, ekonomi, dan sosial di Kenya.
Namun, survei yang melibatkan lebih dari 2.000 warga Kenya ini juga mengungkap bahwa 55% responden memandang TikTok sebagai sumber utama misinformasi—angka tertinggi di antara semua platform digital di negara tersebut. WhatsApp, meski populer, dianggap lebih “aman” karena diskusinya cenderung privat di lingkaran pertemanan.
Pola dan Jenis Misinformasi: Dari Hoaks Politik hingga Ujaran Kebencian
Penelitian Mozilla Foundation dan berbagai organisasi independen menemukan bahwa misinformasi di TikTok Kenya sangat beragam, mulai dari hoaks politik, manipulasi video, hingga ujaran kebencian berbasis etnis. Studi Mozilla pada pemilu 2022 menelusuri lebih dari 130 video viral dari 33 akun, yang secara kolektif ditonton jutaan kali. Konten-konten ini meliputi:
- Video manipulasi hasil survei dan polling palsu.
- Klip berita palsu (fake news bulletin) dari stasiun TV ternama.
- Narasi provokatif yang menghasut kebencian antar-etnis.
- Penggunaan istilah kode seperti “madoadoa” yang diakui sebagai ujaran kebencian oleh otoritas Kenya.
- Konten sintetis, seperti dokumen palsu, tweet palsu pejabat dunia, dan narasi yang mengancam stabilitas politik.
Fenomena ini diperparah oleh algoritma TikTok yang cenderung mengamplifikasi konten sensasional, membuat video berisi misinformasi bisa menjangkau lebih banyak audiens dibandingkan dengan jumlah pengikut akun pembuatnya.
Faktor Penyebab: Moderasi Konteks Lokal yang Lemah
Salah satu akar masalah utama adalah lemahnya moderasi konten yang memahami konteks lokal Kenya. Banyak moderator TikTok berasal dari luar negeri dan kurang memahami bahasa, istilah, serta dinamika politik lokal. Mantan moderator mengaku sering kali harus menilai konten dalam bahasa atau konteks yang tidak mereka pahami, sehingga konten berbahaya lolos dari pengawasan.
Selain itu, tekanan target harian dan keterbatasan sumber daya membuat proses moderasi tidak optimal. Akibatnya, konten yang melanggar kebijakan TikTok—termasuk ujaran kebencian, hasutan kekerasan, dan manipulasi politik—tetap bertahan dan menyebar luas sebelum akhirnya dihapus.
Dampak Sosial dan Politik: Ancaman bagi Demokrasi dan Keamanan
Penyebaran misinformasi di TikTok telah menimbulkan kekhawatiran serius di Kenya. Presiden William Ruto sendiri menyebut “narasi palsu dan distorsi sinis” di media sosial sebagai ancaman sistemik bagi demokrasi dan persatuan nasional. Dalam konteks Kenya, yang memiliki sejarah kekerasan pasca-pemilu, narasi kebencian dan disinformasi politik dapat memicu ketegangan etnis dan kekerasan nyata di dunia offline.
Studi Mozilla juga menyoroti bagaimana generasi muda, yang menjadi pengguna utama TikTok, sangat rentan terpengaruh oleh narasi palsu dan propaganda digital. Hal ini memperkuat urgensi literasi digital dan pendidikan kritis di masyarakat.
Upaya Penanggulangan: Antara Janji dan Realitas
TikTok mengklaim telah meningkatkan upaya moderasi, termasuk menghapus lebih dari 334.000 video di Kenya pada 2024, dengan 88,9% dihapus sebelum sempat ditonton dan 93% dihapus dalam 24 jam pertama. Platform ini juga bermitra dengan pemeriksa fakta independen dan memperkuat kebijakan komunitasnya.
Namun, para peneliti menilai langkah ini belum cukup. Algoritma TikTok masih rentan memperkuat konten sensasional, sementara kolaborasi dengan pemeriksa fakta dan masyarakat sipil perlu ditingkatkan. Pemerintah Kenya sendiri lebih memilih pendekatan regulasi ketat ketimbang pelarangan total, meski tekanan untuk memblokir TikTok sempat menguat di parlemen.
Studi Kasus: Pemilu Kenya 2022 dan Pembelajaran untuk 2027
Pemilu 2022 menjadi studi kasus penting. Peneliti menemukan bahwa disinformasi politik di TikTok menyebar jauh lebih cepat dan luas dibandingkan platform lain, dengan efek nyata pada opini publik dan potensi kekerasan. Banyak video yang mengandung ujaran kebencian dan manipulasi politik tetap bertahan selama berminggu-minggu sebelum akhirnya dihapus, bahkan setelah viral dan menimbulkan dampak sosial.
Pembelajaran dari kasus ini adalah pentingnya:
- Meningkatkan kapasitas moderasi lokal yang paham konteks Kenya.
- Mendorong literasi digital di kalangan muda.
- Kolaborasi erat antara platform, pemerintah, dan masyarakat sipil.
- Transparansi algoritma dan proses moderasi konten.
Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Ekosistem Digital yang Sehat
Dinobatkannya TikTok sebagai platform misinformasi teratas di Kenya adalah peringatan keras bagi semua pemangku kepentingan: platform digital, pemerintah, dan masyarakat. Misinformasi bukan sekadar masalah teknologi, melainkan tantangan sosial, politik, dan budaya yang membutuhkan respons kolektif dan berkelanjutan.
Ke depan, Kenya harus memperkuat literasi digital, memperbaiki regulasi, dan menuntut transparansi serta akuntabilitas dari platform digital. TikTok, dengan pengaruh besarnya, punya tanggung jawab moral dan sosial untuk memastikan ruang digitalnya tidak menjadi alat perpecahan, melainkan wahana edukasi dan persatuan.
Referensi:
Reuters Institute Digital News Report 2025
Mozilla Foundation, TechCrunch, Disinfo Africa
Mwakilishi, 2025
Eastleigh Voice, 2025
Semafor, 2024
TikTok newsroom
Leave a Reply