Paus Leo XIV Melihat Tanda-tanda Zaman – Apakah Paus Leo XIV akan mampu menghadapi, tetapi menaklukkan tantangan zaman ?
Ketika asap putih mengepul keluar dari cerobong Kapel Sistina pada tanggal 8 Mei 2025, masyarakat luas, tidak hanya umat Katolik di seluruh dunia, mendapat tanda bahwa 133 kardinal-elektor telah menyelesaikan pemungutan suara untuk memilih paus ke-267. gali77 Asap putih menandai konklaf pemilihan paus baru untuk menggantikan Paus Fransiskus sudah selesai.
Konklaf 2025 dimulai sejak Rabu (7/5/2025) petang, lebih pendek dibandingkan dengan konklaf sebelumnya: hanya empat putaran pemungutan suara. Paus Fransiskus meninggal pada 21 April dalam usia 88 tahun. Ia terpilih pada 13 Maret 2013, setelah lima putaran pemungutan suara dalam konklaf dua hari.
Pendahulunya, Paus Benediktus XVI, terpilih pada 19 April 2005 setelah empat putaran pemungutan suara. Paus Benediktus mengundurkan diri pada 11 Februari 2013 dalam usia 85 tahun, dan tutup usia pada 31 Desember 2022.
Sebelum konklaf berlangsung, tidak ada favorit yang jelas. Sebab, tidak ada partai politik di Gereja Katolik dan tidak ada proses pencalonan publik.
Daftar yang disebut papabile (istilah Italia untuk ”yang layak menjadi paus”, atau calon paus) muncul ketika beberapa kandidat potensial memenuhi kualifikasi tertentu: pengalaman kepemimpinan, tulisan-tulisan yang menonjol, dan bisikan di antara para kardinal tentang siapa yang mereka lihat sebagai calon yang mungkin.
Tentu, itu semua menurut para pengamat atau pengulas Vatikan, menurut media atau lembaga-lembaga survei. Apakah hasilnya seperti yang mereka perkirakan? Tidak ada yang jaminan. Sebab, konklaf adalah proses pemilihan yang sangat khas dan unik.
Sebelum konklaf sejumlah kardinal disebut-sebut sebagai papabile. Misalnya, Kardinal Luis Antonio Tagle (Filipina), Kardinal Jospeh Tobin (AS), Kardinal Pietro Parolin (Italia), Kardinal José Tolentino de Mendonça (Portugal), Kardinal Fridolin Ambongo Besungu (Republik Demoktik Kongo), dan Kardinal Peter Erdo (Hongaria). Selain itu, Kardinal Robert Francis Prevost (Amerika Serikat), Kardinal Gérald Lacroix (Kanada), Kardinal Mario Grech (Malta), Kardinal Pierbattista Pizzaballa (Italia), Kardinal Jean-Marc Aveline (Perancis), dan Kardinal Cristóbal López Romero (Maroko).
Akan tetapi, karya Tuhan penuh kejutan. Kata Rasul Paulus pada umat di Efesus: Jangan membatasi karya Allah dengan sempitnya pola pikir kita, biarlah Allah bekerja menurut kehendak-Nya, sesuai dengan kekayaan dan kemuliaan-Nya. Begitulah yang terjadi.
Siapa yang mereka pilih? Ketika kardinal protodeakon Dominique FJ Mamberti (73) muncul di balkon tengah Basilika Santo Petrus dan mengumumkan siapa paus ke-267, pertanyaan terjawab. ”Annuntio vobis gaudium magnum, Habemus Papam!” kata Kardinal Mamberti. Atau ”Saya mengumumkan kepada kalian, berita yang sangat menggembirakan: Kita memiliki seorang Paus, yakni Kardinal Robert Francis Prevost.
Robert Francis Prevost (69), lahir pada 14 September 1955 di Chicago, Illinois, dari pasangan Louis Marius Prevost, keturunan Perancis dan Italia, dan Mildred Martínez, keturunan Spanyol. Ia memiliki dua saudara laki-laki, Louis Martín dan John Joseph. Terpilihnya Kardinal Prevost mengejutkan banyak kalangan. Ia berasal dari AS, yang sebelumnya seperti ada anggapan para kardinal tabu memilih paus dari AS.
Tapi, Kardinal Prevost yang lama menjadi misionaris di Peru memiliki kewarganegaraan ganda, AS dan Peru. Jadi, yang dianggap ”tabu” itu, runtuh sudah. Kejutan kedua, Kardinal Prevost adalah seorang Agustinian—dari Ordo Santo Agustinus (OSA), bahkan dua kali menjadi pemimpin tertinggi Agustinian. Ia baru diangkat menjadi kardinal oleh Paus Fransiskus, 30 September 2023, yang memungkinkannya ikut konklaf. Kardinal Prevost kemudian memilih nama Paus Leo XIV.
Rerum Novarum
Keputusan memilih nama Leo XIV, jelas merujuk kepada Paus Leo XIII (1810-1903), penulis ensiklik Rerum Novarum (Hal-hal Baru) pada 1891. Paus Leo XIV mungkin juga memikirkan Paus Leo pertama, Santo Leo Agung (sekitar tahun 400-461). Leo ini dikenang karena kepemimpinannya yang kuat, jangkauannya ke dunia (diplomasi), dan upayanya yang luar biasa dalam menciptakan perdamaian. Di luar sejarah gereja, nama Leo dalam bahasa Yunani dan Latin berarti ”singa,” dan konon melambangkan keberanian dan kekuatan.
Ensiklik Rerum Novarum diterbitkan sebagai tanggapan Gereja terhadap perkembangan baru (akibat) revolusi sosial dan kultural yang memuncak dalam Revolusi Industri di Eropa. Revolusi sosial di Perancis yang melahirkan Revolusi Perancis dengan trilogi semboyannya: liberte, egalite, et fraternite.
Ketiga semboyan ini akan telah mendorong manusia untuk memperjuangkan persamaan hak atas dasar kesamaan martabat pribadi manusia. Di samping itu, revolusi Perancis ini mendorong orang untuk membentuk sistem pemerintahan demokratis yang menghargai dan melindungi hak setiap individu, menghargai pluralitas, menumbuhkan sikap toleran, menegakkan keadilan, mempromosikan partisipasi aktif setiap manusia dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan bersama (L Tarpin, 2008).
Akan tetapi, revolusi sosial ini juga membawa ekses negatif, yakni individualisme ektrem, imperialisme, totalitarianisme, fasisme, marginaliasi nilai-nilai spiritual, marginalisasi agama dan moral, hegemoni budaya, dan sistem pemikiran tertentu atas nama universalitas. Revolusi Industri menjadi cikal-bakal kapitalisme modern yang kemudian akan memicu gerakan ekspansi kolonialisme dan imperialisme yang melahirkan penindasan, eksploitasi manusia dan sumber daya alam yang melahirkan kemiskinan dan keterbelakangan negara terjajah.
Yang paling memprihatinkan adalah bahwa kemakmuran di dunia kapitalis mengakibatkan penderitaan, kemiskinan dan ketergantungan di negara-negara dunia ketiga. Menanggapi hal itu, Paus Leo XIII menunjukkan asas dan pedoman dasar yang perlu untuk menyusun tata sosial yang adil berinspirasikan nilai-nilai Kristiani (Dokpen KWI). Dokumen itu menandai dimulainya doktrin sosial modern Gereja.
Saat ini, dunia sedang dilanda badai diguncang oleh perang dan kekerasan, ketidakadilan, penindasan, pelanggaran hak asasi manusia, dan perusakan lingkungan hidup, dan munculnya kecerdasan buatan (AI). Kiranya dalam konteks ini kita melihat mengapa Kardinal Prevost berdasarkan iman dan melihat tanda-tanda zaman, memilih nama Paus Leo XIV.
Tantangan
Hal penting yang perlu diketahui adalah Paus adalah Bapa Gereja, tetapi otoritasnya menyimpang jika tidak melayani kehidupan, kebenaran, dan tatanan ilahi. Pemulihan tidak akan terjadi melalui kebaruan kepausan, tetapi melalui kesetiaan kepausan kepada Kristus, Kitab Suci, dan Tradisi.
Di era individualisme radikal dan pemberontakan ideologis terhadap segala bentuk otoritas, tradisi Katolik menawarkan perbaikan yang penting dan mendesak. Berakar pada Kitab Suci, yang dikembangkan oleh para Bapa Gereja, disempurnakan oleh St Thomas Aquinas, dan diperjelas oleh Magisterium, pemahaman Kristen tentang otoritas bukanlah otoriter atau permisif. Itu adalah refleksi terstruktur dari kasih ilahi.
Otoritas diberikan kepada para pemimpin oleh Tuhan, bukan untuk mendominasi, tetapi untuk memajukan kebaikan bersama dan membimbing jiwa-jiwa menuju tujuan supernatural mereka. Dan paus, sebagai Vikaris Kristus, berfungsi sebagai Bapa Gereja universal.
Masa kepausan Paus Leo XIV berada dalam dunia yang tengah mengalami transformasi geopolitik, budaya, dan spiritual mendalam. Selain persoalan eksternal itu, ada persoalan internal yang harus dihadapi paus baru, seperti diingatkan oleh Kardinal Giovanni Batistta Re, Dekan Collegium Kardinal dalam khotbahnya saat memimpin Misa Pembukaan Konklaf.
Kardinal Re mengingatkan tentang tugas ”untuk menjaga kesatuan Gereja di jalan yang telah ditelusuri oleh Kristus kepada para Rasul”. Kesatuan Gereja ini ”dikehendaki oleh Kristus”. Kesatuan yang kuat dan ditandai oleh ”persekutuan yang mendalam dalam keberagaman, asalkan kesetiaan penuh kepada Injil dipertahankan”. Maka Paus Leo XIV mengatakan akan membangun jembatan”.
Tantangan terbesar Gereja bukanlah tantangan struktural atau politik, melainkan tantangan spiritual. Dunia membutuhkan orang-orang kudus, dan misi Paus adalah untuk mengingatkan semua umat beriman bahwa transformasi sejati masyarakat lahir dari hati yang bertobat kepada Tuhan. Maka seruan Paus Santo Yohanes Paulus II, yakni ”Novo Millennio Ineunte,” tetap relevan.
Kata Paus Santo Yohanes Paulus II, Kekristenan tidak ditopang oleh strategi manusia, tetapi oleh kehidupan di dalam Kristus. Untuk mencapai hal ini, Paus yang baru harus menegaskan keutamaan kasih karunia mengingat bahwa Tuhanlah yang mengambil inisiatif dan menguduskan Gereja-Nya. Spiritualitas baru yang berserah diri kepada Tuhan dan percaya pada belas kasihan-Nya akan menjadi kunci untuk memperkuat iman umat Kristen dalam ketidakpastian.
Dalam General Congregation (Kongregasi Umum)—pertemuan para kardinal menjelang konklaf—dirangkum tujuh prioritas paus baru. Misalnya, melanjutkan reformasi Gereja yang sudah dimulai oleh Paus Fransiskus; menekankan persekutuan dengan menegaskan Paus sebagai Pontifex, pembangun jembatan, gembala, guru kemanusiaan, dan wajah Gereja Samaria. Dan, di masa sekarang ini, ada kebutuhan akan Paus yang penuh belas kasih, sinodalitas, dan harapan.
Maka kalimat pertama yang dikatakan Paus Leo XIV di balkon Basilika Santo Petrus adalah ”La pace sia con voi”, Semoga damai menyertaimu. Perlu dipahami bahwa Gereja bukan sekadar lembaga manusia, tetapi Tubuh Kristus, yang dibimbing oleh Roh Kudus. Maka moto Paus Leo XIV pun mencerminkan hal itu, In Illo Uno Unum, Dalam Dia kita bersatu. Ini mengingatkan akan moto bangsa Indonesia Bhinneka Tunggal Ika.
Never Walk Alone
Apakah Paus Leo XIV akan mampu menghadapi, tetapi menaklukkan tantangan zaman? Sejarahlah yang akan mencatatnya. Bukankah kita tidak tahu sebelumnya apa rencana Tuhan bagi dunia dan manusia lewat Paus Leo XIV. Seperti dahulu, Kardinal Karol Wojtyla terpilih sebagai paus Yohanes Paulus II, memberikan sumbangan besar pada runtuhnya komunisme, tidak hanya di Polandia, juga Rusia dan negara-negara Eropa Timur lainnya. Paus Fransiskus dikenal sebagai ”Pope of Peace and for Peace.” Tentu, terpilihnya Kardinal Prevost pun adalah sebuah pesan.
Seperti lagu wajib pendukung kesebelasan Liverpool, ”You’ll Never Walk Alone”, demikian pula Paus. Seperti setiap penerus Petrus, ia akan mengandalkan bantuan Roh Kudus dan doa Umat Allah. Misinya tidak akan mudah, tetapi sejarah menunjukkan bahwa, di saat-saat yang paling sulit, kasih karunia Allah dicurahkan dengan lebih berlimpah.
Gereja tidak takut akan masa depan karena harapannya bukan pada struktur manusia, tetapi pada janji Kristus: ”Aku menyertai kamu sampai akhir zaman” (Mat 28:20). Dengan keyakinan ini, Paus membimbing Gereja dengan keberanian, percaya bahwa, di luar krisis apa pun, kasih Allah tetap menjadi kekuatan pendorong sejarah.
Pada tanggal 8 Mei 2025, dunia menyaksikan momen bersejarah ketika Kardinal Robert Francis Prevost, seorang warga negara Amerika Serikat dan Peru, terpilih sebagai Paus ke-267 dengan nama Leo XIV. Ia menjadi Paus pertama yang berasal dari Amerika Serikat dan anggota pertama dari Ordo Santo Agustinus yang menduduki Tahta Suci. Pemilihannya menandai era baru dalam Gereja Katolik, dengan harapan akan persatuan, inklusivitas, dan reformasi yang berkelanjutan.
Latar Belakang dan Perjalanan Hidup
Lahir pada 14 September 1955 di Chicago, Illinois, Robert Prevost menunjukkan ketertarikan pada kehidupan religius sejak muda. Ia bergabung dengan Ordo Santo Agustinus pada tahun 1977 dan ditahbiskan sebagai imam pada 19 Juni 1982. Pendidikan teologinya mencakup gelar dari Villanova University, Catholic Theological Union, dan Universitas Kepausan Santo Thomas Aquinas.
Dedikasinya terhadap pelayanan pastoral membawanya ke Peru, di mana ia mengabdi sebagai misionaris, pengajar seminari, dan akhirnya diangkat sebagai Uskup Chiclayo pada tahun 2015. Pengalaman internasionalnya memperkaya perspektifnya tentang Gereja yang universal dan inklusif.
Pemilihan Sebagai Paus
Setelah wafatnya Paus Fransiskus, Konklaf 2025 berlangsung dengan cepat. Pada hari kedua, asap putih muncul dari Kapel Sistina, menandakan terpilihnya Paus baru. Dalam pidato perdananya, Paus Leo XIV menyampaikan pesan perdamaian dan harapan, serta mengungkapkan tekadnya untuk melanjutkan warisan Paus Fransiskus dalam membangun Gereja yang lebih terbuka dan peduli terhadap isu-isu sosial.
Visi dan Misi Kepausan
Sebagai Paus, Leo XIV dikenal sebagai pendukung kuat sinodalitas, yaitu partisipasi aktif seluruh umat dalam kehidupan Gereja. Ia percaya bahwa melalui dialog dan kolaborasi, Gereja dapat mengatasi polarisasi dan menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan zaman.
Dalam pidato pertamanya kepada para Kardinal, ia menyoroti tantangan yang ditimbulkan oleh kecerdasan buatan (AI) terhadap martabat manusia dan keadilan sosial. Ia menekankan perlunya refleksi etis dalam menghadapi kemajuan teknologi, agar tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Reaksi Global
Pemilihan Paus Leo XIV disambut dengan antusiasme di berbagai belahan dunia. Di Amerika Serikat, umat Katolik merayakan momen bersejarah ini dengan penuh kebanggaan. Di Peru, khususnya di Chiclayo, tempat ia pernah melayani, masyarakat merayakan dengan sukacita, menganggapnya sebagai “Paus mereka sendiri”.
Harapan dan Tantangan
Sebagai pemimpin Gereja Katolik, Paus Leo XIV menghadapi berbagai tantangan, termasuk menjaga kesatuan di tengah perbedaan pandangan, memperkuat peran perempuan dalam Gereja, dan menjawab isu-isu sosial seperti migrasi dan perubahan iklim. Dengan latar belakangnya yang kaya dan pendekatan yang inklusif, banyak yang berharap ia dapat membawa Gereja menuju masa depan yang lebih cerah dan relevan.
Paus Leo XIV telah memulai masa kepemimpinannya dengan langkah-langkah yang mencerminkan komitmennya terhadap reformasi dan pelayanan. Dengan semangat Agustinus dan pengalaman internasionalnya, ia diharapkan dapat menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai komunitas dalam Gereja Katolik dan membawa pesan kasih serta harapan kepada dunia.