Robot Ini Belajar Operasi Bedah Pakai Video - Tren teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) tidak hanya mendominasi

Robot Ini Belajar Operasi Bedah Pakai Video

Robot Ini Belajar Operasi Bedah Pakai Video – Tren teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) tidak hanya mendominasi beberapa sektor pekerjaan administratif, tetapi juga mulai merambah ke sektor kesehatan dan medis.

Baru-baru ini, sekelompok peneliti menguji bagaimana teknik pelatihan AI yang sama seperti yang digunakan ChatGPT, diimplementasikan untuk melatih robot melakukan operasi bedah.

Kelompok peneliti itu rajaburma88 berasal dari John Hopkins University dan Stanford University. Mereka membuat model pelatihan AI menggunakan kumpulan video.

Video itu merupakan rekaman lengan robot yang dikendalikan manusia untuk melakukan pembedahan.

Dengan model tersebut, peneliti berharap mereka tak perlu memrogram setiap gerakan atau langkah dalam sebuah prosedur medis.

Sebagai gantinya, robot bisa “belajar” meniru tindakan yang ada di dalam video, sehingga proses pengaturannya lebih sederhana dan efisien.

Pembelajaran yang dilatih mencakup belajar menggerakan atau mengendalikan jarum, mengikat simpul, hingga menjahit luka.

Dalam proses pelatihan yang diberikan, robot juga mampu melakukan hal selain yang ditiru lewat video, serta memperbaiki kesalahan sendiri tanpa harus diberi komando. Salah satunya adalah mengambil jarum yang jatuh.

Sebagaimana dirangkum KompasTekno dari Gizmodo, Rabu (1/1/2025), para ilmuwan sudah mulai lanjut ke tahap pembelajaran berikutnya. Tim peneliti berencana untuk menggabungkan seluruh keterampilan bedah yang berbeda dalam satu operasi penuh yang dilakukan pada mayat hewan.

Gagasan ini lahir ketka melihat adanya perkembangan dari pola pelatihan robot. Proses pembelajaran ini sudah dilakukan selama bertahun-tahun di ruang operasi.

Laporan dari Journal Robotic of Surgery yang dipublikasi pada 2023, sudah ada sekitar 876.000 operasi yang dilakukan bersama robot pada 2020.

Keterlibatan robot di ruang bedah memiliki dampak yang cukup siginifikan bagi para dokter. Dikarenakan untuk kondisi tertentu, robot dapat mencapai bagian tubuh tertentu dan melakukan tugas yang mana tidak bisa dilakukan oleh dokter bedah. Misalnya, operasi saraf yang memperlukan presisi tingkat tinggi.

Ditambah, tangan robot tidak menderita tremor seperti kebanyakan manusia. Tangan robot juga terbilang ramping, cocok untuk melakukan tugas-tugas presisi, serta bisa menghindari masalah kerusakan saraf.

Namun, dalam praktiknya, robot tetap akan dipandu manual oleh ahli bedah lewat alat pengontrol. Jadi, dokter bedah masih selalu memegang tanggung jawab.

AI tidak selalu benar

Penelitian ini mengundang kekhawatiran baru di kalangan publik. Sebab, model AI yang dilatih dan dikembangkan saat ini, seperti ChatGPT sekalipun tidak bisa dikatakan cerdas sepenuhnya.

Chatbot ataupun teknologi kecerdasan buatan serupa hanya berlandaskan pada tindakan meniru dari yang sudah dilihat sebelumnya.

Robot juga tidak memiliki pemahaman atau konsep mendasar terkait apa yang sedang dihadapi. Dalam konteks media, ada berbagai macam variasi patologi yang tidak terbatas dalam inang manusia. Masing-masing variasi memiliki tantangannya tersendiri.

Dari kekhawatiran ini, lantaran muncul pertanyaaan “bagaimana jika model AI belum melihat skenario tertentu, lalu diminta mengerjakannya?”.

Pertanyaan lainnya, “jika terjadi sesuatu kesalahan selama operasi dalam sepersekian detik, apakah robot AI tahu harus merespons apa meski belum dilatih untuk merespons?”.

Sejauh ini, keterlibatan robot dalam ruang operasi perlu disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (US Food and Drug Administration/ FDA) di bawah pemerintahan setempat.

Sementara itu, kasus dokter menggunakan AI untuk meringkas catatan kunjungan ke rumah sakit tidak memerlukan persetujuan FDA.

Sejatinya, setiap dokter seharusnya meninjau ulang hasil informasi yang dihasilkan oleh robot AI. Jika hal tersebut tidak dilakukan, lagi-lagi hal ini melahirkan keresahan baru.

Sejumlah laporan sudah membuktikan bahwa bot AI tidak ahli dalam membuat rekomendasi, bahkan kerap memasukkan informasi transkrip pertemuan yang tidak pernah diucapkan sebelumnya.

Kesalahan-kesalahan seperti ini seharusnya tidak boleh terjadi di dalam sektor medis ataupun kesehatan. Tindakan medis merupakan profesi pekerjaan yang memiliki taruhan yang tinggi karena pertimbangannya adalah hidup dan mati seseorang.

Coba saja bandingkan, jika sebuah bot AI di Gmail salah meringkas sebuah e-mail, kesalahan tersebut mungkin tidak terlalu fatal dan masih bisa diperbaiki tanpa perlu mempertahruhkan nyawa.

Sementara itu, sistem AI yang salah mendiagnosis masalah kesehatan atau melakukan kesalahan dalam ruang operasi, masalah yang ditimbulkan lebih serius daripada kesalahan meringkas e-mail.

Menanggapi masalah ini, direktur bedah robot di Universitas Miami Dipen J Parekh yang diwawancarai The Washington Post menjawab bahwa anatomi dari masing-masing pasien berbeda, sama halnya ketika penyakit berperilaku di dalam tubuh masing-masing pasien.

“Saya melihat gambar dari CT Scan dan MRI, lalu melakukan operasi (sambil mengendalikan lengan robot. Jika Anda ingin robot melakukan operasi sendiri, ia harus memahami semua pencitraan, cara membaca CT Scan dan MRI,” ungkap Parekh.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *