
Afrika Terancam Gelombang Kelaparan Baru Siapa Peduli
Realita Pahit: Wajah Baru Kelaparan di Benua Hitam
Tahun demi tahun, suara peringatan dari benua Afrika tentang ancaman kelaparan nyaris tenggelam oleh hiruk pikuk dunia lain yang lebih makmur. Namun, kini suara itu berubah menjadi alarm darurat. Data terbaru dari World Food Programme (WFP) dan Organisasi Pangan Dunia (FAO) menyebutkan sekitar 282 juta warga Afrika mengalami kekurangan pangan akut pada 2024—angka yang melonjak hampir dua kali lipat dalam kurun lima tahun. Di tengah kemajuan global, Afrika justru mundur ke jurang krisis pangan yang semakin menganga.
Konflik, Iklim, dan Kelumpuhan Sistem: Kombinasi Mematikan
Mengamati peta kelaparan di Afrika, cepat terlihat pola bencana ganda: konflik militer memupus harapan panen, perubahan iklim menggagalkan masa tanam, dan praktik tata kelola yang buruk membiarkan bantuan hilang di jalan. Negara-negara seperti Sudan Selatan, Somalia, hingga Burkina Faso tampak dalam lingkaran setan perang saudara dan kudeta. Serangan ke ladang, pengungsian massal, serta blokade terhadap pengiriman bahan pangan menjadi rutinitas tragis. Tak kalah melumpuhkan, kekeringan ekstrem kini semakin sering melanda wilayah Tanduk Afrika.
“Tanpa perdamaian, tidak akan ada pangan,” tegas David Beasley, mantan Direktur Eksekutif WFP. Ungkapan ini bukan sekadar retorika. Data menunjukkan, 60% dari mereka yang terancam kelaparan parah di Afrika hidup di kawasan konflik—ini bukti bahwa kelaparan lebih sering lahir dari ulah manusia daripada ulah alam.
Studi Kasus: Somalia dan Krisis yang Tidak Pernah Usai
Somalia menjadi cermin tragis kegagalan global dalam mencegah kelaparan. Sepanjang 2022-2024, negara ini mengalami kekeringan terburuk dalam 40 tahun terakhir.
Menurut laporan FAO, lebih dari 2 juta anak di bawah umur lima tahun di Somalia terancam stunting berat. Bantuan pangan seolah lenyap di tengah birokrasi yang berbelit dan kelompok bersenjata yang menjadikan logistik sebagai alat tawar menawar politik. “Saya telah melihat sendiri keluarga yang bertahan hidup dengan menyeduh air garam sebagai satu-satunya ‘makanan’ mereka hari itu,” ujar seorang relawan LSM internasional yang enggan disebut namanya kepada BBC Africa.
Perdagangan Global dan Sekat Tersembunyi
Ironisnya, permainan pasar global turut memperburuk krisis. Negara-negara di Afrika banyak yang mengimpor makanan pokok seperti gandum dan jagung. Saat terjadi konflik di Ukraina dan cuaca buruk di Amerika Selatan, harga bahan pangan melonjak lebih dari 40%. Bagi keluarga di pedesaan Ethiopia atau Mali, lonjakan harga ini setara kiamat kecil. PBB menyebutkan bahwa 80% rumah tangga di kawasan rawan krisis telah mengurangi porsi makan harian.
Bantuan Internasional: Solusi Sementara yang Sesat?
Sulit menampik peran vital lembaga donor dalam meredam gejolak kemanusiaan. Namun, bantuan seringkali hanya tambal sulam, bukan solusi sistemik. Bantuan datang, lalu lenyap tanpa menyelesaikan akar masalah: distribusi yang tidak adil, lemahnya infrastruktur, dan korupsi endemik di tingkat pemerintahan. “Kita bisa mengirim makanan, tapi kita tidak bisa memaksa mereka membagikannya secara merata,” sindir seorang ekonom dari African Development Bank.
Apakah Dunia Masih Punya Empati?
Yang paling mencolok: dunia tampak bosan bicara soal Afrika. Krisis Sudan, bencana di Tigray, atau kelaparan di Mozambik hanya jadi headline sesaat, lalu diganti oleh isu geopolitik baru. Jumlah dana bantuan makin menyusut, sementara populasi Afrika bertambah tiga juta jiwa setiap bulan. Pemerintah lokal pun kadang lebih sibuk menjaga kursi kekuasaan ketimbang mencari solusi bersama.
Jalan Menuju Masa Depan: Solusi Atau Utopia?
Mengentaskan kelaparan bukan lagi soal mengirimkan tenda dan karung-karung gandum. Dunia harus jujur, solusi sejati ada pada pembangunan jangka panjang: teknologi pertanian berkelanjutan, penyelesaian konflik, reformasi lahan, dan pendidikan masyarakat. Studi dari World Bank membuktikan, investasi pada pertanian skala kecil mampu menaikkan pendapatan petani dan mengurangi tingkat kelaparan hingga 30% dalam lima tahun.
Namun, tanpa keberanian politik dan perhatian global yang tidak musiman, Afrika akan kembali menjadi headline kelaparan berikutnya.
Artikel ini didukung oleh Dahlia77 Ruang bagi generasi muda untuk mengkritisi dan membangun masa depan yang lebih adil dan lestari.