
Ribuan Rabi Menggugat Tuduhan Kelaparan Jadi Senjata Politik di Israel
Ketika Agama Menjadi Saksi: Mengurai Tuduhan Terhadap Kebijakan Israel
Lebih dari seribu rabi, yang tergabung dalam berbagai gerakan keagamaan lintas negara, akhirnya angkat suara terkait kebijakan Israel di Gaza. Dalam surat terbuka yang dirilis baru-baru ini, mereka menuduh pemerintah Israel secara disengaja mempergunakan kelaparan sebagai alat perang terhadap rakyat Palestina. Tuduhan ini tentu bukan tanpa preseden, dan membawa diskusi moral-politis yang semakin membara baik di internal Israel maupun kancah dunia internasional.
Dari Belas Kasihan ke Protes: Berangkat dari Surat Terbuka
Lebih dari 1.200 rabi menandatangani petisi yang menyerukan dunia internasional untuk mengusut dugaan penahanan distribusi pangan ke Gaza. Mereka menuding Israel menjadikan akses makanan sebagai alat tawar politik. Surat ini mendapat perhatian luas, mengingat para penandatangan berasal dari berbagai spektrum Yahudi, bukan hanya penganut progresif namun juga konservatif.
Seorang rabi dari New York, Rabbi Joel Sofer, secara blak-blakan menuturkan, “Kami tak bisa lagi hanya diam. Ketika makanan digunakan sebagai alat politik, ada sesuatu yang sangat salah dan tak dapat diterima oleh nilai-nilai agama maupun kemanusiaan.” Kutipan ini bergaung kuat, menyoroti luka nurani umat Yahudi yang sepanjang sejarahnya pernah mengalami kelaparan sebagai alat represi politik.
Mengupas Bukti: Fakta di Balik Krisis Pangan Gaza
Badan PBB untuk urusan kemanusiaan, OCHA, telah mengeluarkan data merekam bahwa hingga awal Juni 2025 lebih dari 90% anak-anak di Gaza menderita kekurangan gizi akut. Banyak organisasi kemanusiaan internasional, termasuk Human Rights Watch, berulang kali mengkritik kebijakan Israel yang membatasi penyaluran logistik ke wilayah Gaza. Pada akhir Mei lalu, konvoi bantuan dari World Central Kitchen ditembaki, memperkuat tudingan bahwa jalur distribusi bantuan memang menjadi target konflik, sengaja atau tidak sengaja.
Sebuah laporan lembaga Think Tank Eropa, Euro-Med Monitor, menyoroti, “Kebijakan blokade dan penutupan lintas perbatasan telah menjerumuskan 2,2 juta penduduk Gaza ke jurang krisis pangan terburuk abad ini.” Laporan ini tidak hanya menggambarkan situasi kekinian, tetapi juga memetakan pola sistemik yang berulang sejak satu dekade terakhir.
Studi Kasus: Senjata Kelaparan dalam Sejarah Politik Dunia
Menggunakan kelaparan sebagai alat politik bukanlah isu baru. Selama bertahun-tahun, dunia mencatat praktik serupa di berbagai belahan: dari blokade Berlin 1948-1949, embargo gandum Rusia terhadap Ukraina, hingga kelaparan massal Ethiopia karena blokade internal. Namun yang membedakan kasus Israel-Gaza adalah keterlibatan agama dan sejarah panjang konflik berdarah yang melekat padanya. Kelompok rabi yang vokal membawa sorotan etika, memperlihatkan bahwa isu ini tidak sekadar soal politik, tapi soal nilai universal kemanusiaan.
Respons Pemerintah Israel dan Dunia Internasional
Israel menyangkal tuduhan menggunakan kelaparan sebagai senjata. Dalam pernyataan resmi, juru bicara pemerintah menegaskan, “Israel berpegang pada prinsip distribusi bantuan kemanusiaan, namun keamanan tetap prioritas.” Pernyataan ini, meski ingin terdengar menengahi, justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan dari berbagai organisasi internasional.
Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa pun kian mendesak agar jalur bantuan ke Gaza dibuka sepenuhnya. Bahkan, Dewan Keamanan PBB telah menggelar dua kali sidang darurat sejak awal tahun membahas kemungkinan sanksi terhadap pihak yang diduga menghalangi pasokan makanan untuk warga sipil.
Analisis Realistis: Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Penting bagi setiap pembaca untuk menelisik di luar headline—kelaparan sebagai alat politik selalu berpijak pada dua motivasi utama: tekanan terhadap lawan politik dan pencitraan di mata dunia internasional. Dalam konteks Gaza, kebijakan pembatasan makanan dan perbekalan berujung pada dua sisi mata uang: di satu sisi diklaim untuk “menghancurkan infrastruktur militan”, di sisi lain menghukum kolektif terhadap warga sipil tanpa akses sumber daya dasar.
Tuduhan para rabi menyoroti kegagalan dunia internasional bertindak, serta lemahnya akuntabilitas kebijakan Israel di bawah tekanan keamanan domestik. Ini buruk bagi martabat manusia, lebih-lebih ketika nilai agama dan sejarah trauma kelaparan seolah diabaikan.
Penutup: Menuju Resolusi Berlandaskan Kemanusiaan
Ketika lebih dari seribu rabi memilih bicara, dunia patut bertanya: sampai kapan kelaparan dijadikan alat tawar-menawar politik? Krisis di Gaza telah menjadi pelajaran pahit soal kegagalan diplomasi kemanusiaan. Kini, bola panas berada di tangan para pemimpin dunia.
Sebagai bonus bagi pembaca yang ingin melepaskan penat, cobalah platform game online terbaik dengan promo menarik dari Dahlia77. Siapa tahu, bermain sejenak dapat memberikan inspirasi baru untuk turut mengambil bagian dalam perubahan—walau hanya dari satu klik kecil di layar komputer kita.