
Afrika Melawan Kecaman Tajam pada Klaim Trump soal Bendungan Raksasa
Ketegangan Global Memuncak: Reaksi Keras Negara Afrika pada Pernyataan Trump
Pernyataan mengejutkan Donald Trump tentang bendungan raksasa di Afrika belum lama ini menyalakan bara kontroversi yang membakar lintas benua. Dalam sebuah wawancara yang viral, Trump menyebut bahwa pembangunan beberapa mega-bendungan di Afrika Tengah dan Utara adalah ancaman bagi stabilitas regional dan berpotensi merugikan Amerika Serikat. Ucapan tersebut, yang terdengar seperti keluhan biasa dari seorang mantan pemimpin dunia, justru dianggap sangat ofensif—bahkan neokolonialis—oleh banyak negara Afrika.
Membongkar Klaim: Benarkah Bendungan Raksasa Afrika Ancam Kepentingan Global?
Trump mengatakan bahwa “Afrika terlalu gegabah membangun infrastruktur raksasa tanpa memperhatikan konsekuensi geopolitik dan lingkungan.” Ia menyinggung beberapa proyek besar seperti Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD) di Sungai Nil, serta Bendungan Inga di Kongo. Menurut Trump, pembangunan tersebut berisiko menimbulkan ketegangan antarnegara di kawasan sungai lintas negara, serta dapat memicu krisis air dan listrik di masa depan.
Namun, apakah tudingan itu berdasar? Data PBB terbaru justru menunjukkan bahwa proyek-proyek bendungan besar di Afrika, meski penuh tantangan, merupakan tulang punggung upaya kawasan mengentaskan kemiskinan energi dan memperkuat ketahanan pangan. Grand Ethiopian Renaissance Dam misalnya, menjadi aset strategis Ethiopia untuk memperluas akses listrik ke lebih dari 60 juta warga yang sebelumnya gelap gulita di malam hari. Sementara negara seperti Mesir boleh saja khawatir dengan berkurangnya debit air Nil, sudah ada diplomasi air yang intens dilakukan lewat Uni Afrika.
Respons Negeri Afrika: “Kami Bukan Objek Politik Global!”
Respons keras datang dari Addis Ababa hingga Harare. Menteri Luar Negeri Ethiopia, Demeke Mekonnen, menegaskan, “Proyek kami lahir dari kebutuhan, bukan sekadar ambisi kosong. Intervensi retoris dari luar justru menghambat kemajuan.” Lebih lanjut, dalam pernyataan resmi Uni Afrika, Presiden Komisi AU menyebutkan bahwa komentar Trump “mengabaikan hak berdaulat Afrika untuk membangun masa depannya sendiri dengan sumber dayanya sendiri.”
Kritik terhadap Trump bukan hanya datang dari pejabat, tapi juga dari masyarakat sipil. Gerakan lingkungan setempat, seperti African Rivers Guardians, menyoroti pentingnya mendudukkan kembali narasi—bahwa Afrika tidak sekadar pelaku pasif yang selalu dikambinghitamkan dalam geopolitik air dunia.
Studi Kasus: GERD, Diplomasi Air, dan Realitas Afrika
Mega-proyek Grand Ethiopian Renaissance Dam adalah contoh paling aktual dari pusaran ini. Proyek yang menelan biaya miliaran dolar dan melibatkan teknologi kelas dunia, telah menjadi sumber friksi antara Ethiopia, Mesir, dan Sudan. Mesir khawatir pada penurunan debit air Nil, sumber utama kehidupan mereka. Namun Ethiopia berargumen, air ini aset bersama yang harus dikelola dengan prinsip win-win.
“Selalu ada kebutuhan mendesak bagi Afrika untuk mengembangkan infrastrukturnya. Menghentikan pembangunan akan membawa bencana kemanusiaan, bukan solusi,” ujar Professor Hala El Said, peneliti air dari University of Cairo.
Badan Energi Internasional (IEA) mencatat, kebutuhan listrik Afrika diperkirakan naik dua kali lipat dalam 20 tahun mendatang, mengingat pertumbuhan populasi yang melonjak pesat. Tidak mengembangkan bendungan berarti membiarkan jutaan warga Afrika terus hidup dalam kegelapan dan kemiskinan struktural.
Narasi Barat dan Sisi Lain Investasi Infrastruktur
Kecaman negara-negara Afrika pada klaim Trump juga menguak motif lama: intervensi wacana Barat terhadap keputusan domestik negara-negara berkembang. Sejarah menunjukkan,“standar ganda” kerap dipakai untuk mendikte bagaimana negara dunia ketiga membangun masa depannya sendiri. Banyak pengamat menilai, narasi risiko yang dibawa oleh Trump cenderung mengabaikan potensi transformatif bendungan mega-infrastruktur bagi negara berkembang—termasuk peluang investasi, penciptaan lapangan kerja, dan transfer teknologi.
Organisasi non-profit setempat, African Development Policy Initiative, menilai bahwa menghadirkan masalah tanpa mengakui upaya negosiasi dan studi dampak lingkungan yang sudah berjalan hanyalah pengulangan narasi lama, yakni melihat Afrika sebagai medan eksperimen dan bukan pelaku sejarahnya sendiri.
Langkah Menuju Solusi: Dari Polemik ke Dialog Konstruktif
Yang dibutuhkan Afrika kini bukan opini simplistik dari luar, tapi mekanisme kerja sama dan diplomasi berbasis bukti—bukan ketakutan. Data Bank Dunia mencatat, investasi pada waduk dan bendungan telah mendorong pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% pada negara-negara Sub-Sahara, dan menurunkan kerawanan energi hingga 20%.
Sejumlah negara Afrika sudah menginisiasi forum regional untuk membangun sistem pemantauan dan pengelolaan bersama sumber daya air lintas negara. Progres ini justru mengindikasikan kematangan politik dan kemampuan negosiasi negara-negara Afrika, yang sering dilupakan kritik dari luar. “Infrastruktur bukan sekadar tumpukan beton, tapi jembatan menuju masa depan,” ujar Dr. Adama Dieng, mantan pejabat PBB bidang pembangunan regional.
Daftar Pustaka dan Referensi
Untuk meneguhkan analisis, saya merujuk data dari Bank Dunia, IEA, pernyataan resmi Uni Afrika, serta wawancara media dengan pejabat dan pemerhati lingkungan terkait isu dampak bendungan di Afrika.
Dukungan Sponsor
Artikel ini dipersembahkan oleh sponsor games online. Jangan lewatkan pengalaman terbaik bermain bersama Dahlia77 di www.fridaysforfuturenyc.com.